
Harian Kompas hari ini (29/11) mewartakan pidato Presiden pada acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia kemarin. “Presiden menyampaikan, situasi saat ini adalah situasi normal baru. Banyak perbedaan dan pergeseran yang mengubah perekonomian dunia dan nasional. Pada periode harga komoditas yang tinggi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa mencapai 17 persen. Namun, saat ini konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,93 persen.”
Perekonomian dunia dan Indonesia memang telah banyak berubah.
Dalam tataran makroekonomi misalnya, sejumlah ekonom meyakini Phillips curve yang menjelaskan hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran tak lagi hadir atau setidaknya meredup di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Tidak semua ekonom mengamini, antara lain Olivier Blanchard dan Janet Yellen. Muncul pula fenomena secular stagnation sebagaimana dikemukakan Lawrence Summers yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi rendah beriringan dengan inflasi rendah dan suku bunga rendah di negara-negara maju. Yang tidak sepakat pun cukup banyak. Jika beberapa fenomena baru belum beroleh konsensus, apatah lagi cara menanganinya.

Telah hadir pula Revolusi Industri IV dan era ekonomi digital. Jika fenomena makroekonomi baru sebatas terjadi di negara-negara maju, era ekonomi digital telah merasuk ke seluruh penjuru dunia. Inilah pesan penting Presiden Joko Widodo. Kita sudah memasuki era baru: pola pikir harus berubah dan pendekatan pembangunan pun harus berubah.
Betapa penting memahami perubahan dalam konteks. Kita potret dulu persoalan mendasar yang menghadang dan akar masalahnya. Apakah kita sudah berada di jalur yang benar sehingga yang dibutuhkan adalah penguatan dan percepatan atau kita berada di rel yang salah.
Kembali ke ucapan Presiden. Data menunjukkan sepanjang sejarah Indonesia merdeka, pertumbuhan konsumsi rumahtangga hampir mencapai 17 persen hanya sekali, yakni pada 1981. Sejak 1979 sampai 1981 konsumsi rumah tangga tumbuh dua digit. Tetapi setelah itu anjlok menjadi 3,4 persen. Pertumbuhan dua digit hanya terjadi sekali sebelumnya pada 1974 dan setelahnya pada 1995. Boom komoditas memang menjadi pemicunya. Namun, boom komoditas terakhir hanya mampu mendongkrak pertumbuhan konsumsi rumahtangga ke aras tertinggi 5,5 persen pada 2012-2013.

Setelah krisis ekonomi 1998 pertumbuhan konsumsi rumahtangga tak pernah menembus 6 persen. Pada periode yang sama, pertumbuhan konsumsi rumahtangga di China dan India relatif jauh lebih tinggi dari Indonesia. Bahkan, China menikmati pertumbuhan rerata 11,1 persen selama 1991-2016 (data yang tersedia hanya sejak 1991). Sementara itu, India menunjukkan akselerasi pertumbuhan konsumsi rumahtangga.
Dibandingkan dengan Filipina dan Malaysia pun, pertumbuhan konsumsi rumahtangga Indonesia kerap lebih rendah. Tampak jelas pola di Indonesia mendatar, seolah kekurangan tenaga untuk mengakselerasi.

Jangan-jangan pola Indonesia menunjukkan ketidaknormalan sudah sejak lama, sebelum fenomena baru dunia sekalipun.
Banyak faktor di balik fenomena ganjil yang dialami Indonesia. Antara lain adalah transformasi struktural yang tidak mulus atau tidak mengikuti pola normal. Industrialisasi meredup ketika kita belum mencapai tingkat matang berindustri. Pekerja informal lebih banyak ketimbang pekerja formal. Pekerja di sektor pertanian masih dominan sedangkan peranannya di dalam produk domestik bruto turu lebih cepat. Akibat dari semua itu, nisbah pajak rendah dan bahkan terus turun.
Perlu cetak biru baru bagi Indonesia agar terhindar dari middle income trap.
Presiden berjanji menawarkan strategi baru setelah melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur.
Kalau lihat grafik Cina yg double digit, berarti kunci pertumbuhan ekonomi yg tinggi adalah konsumsi rumah tangga ya Pak?
Kalau ia apa poin utama utk mendongkrak itu?
Terima Kasih
Pembangunan saat ini terlihat lebih berlandasan terhadap kecintaan terhadap beton. Padahal kalau berbicara pembangunan infrastruktur, apakah melulu harus konstruksi beton. Apa kabarnya internet indonesia yang lemot, daerah2 yang kekurangan air, dan tentunya listrik.