Prospek Penerimaan Pajak Pasca Tax Amnesty

6 komentar

Program pengampunan pajak telah berakhir pada 31 Maret 2017. Antusiasme masyarakat tergolong luar biasa. Sampai akhir batas waktu program, tercatat satu juta lebih jumlah Surat Pernyataan Harta (SPH).

Nilai harta yang dideklarasikan mencapai 4.866 triliun, sekitar 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Harta yang dideklarasikan itu setara dengan 365 miliar dollar AS atau tiga kali lipat dari cadangan devisa per akhir Februari 2017.

Lebih dari tiga perempat harta yang dideklarasikan adalah harta bersih dalam negeri, sedangkan harta bersih yang ditempatkan di luar negeri sebesar 21,2 persen. Yang sangat jauh dari target pemerintah sebesar Rp 1.000 triliun adalah deklarasi harta bersih repatriasi, hanya 3 persen atau sebesar Rp 147 triliun.

komposisi_harta

Target dana repatriasi yang tergolong sangat ambisius dibuat berdasarkan perkiraan dana WNI yang berada di luar negeri versi Kementerian Keuangan minimal sekitar Rp 11.000 triliun. Angka ini mirip dengan versi Credit Suisse. Sedangkan menurut versi Bank Indonesia jumlahnya sekitar Rp 3.000 triliun, hampir sama dengan versi McKinsey&Company. Perbedaan antara Rp 3.000 triliun dengan Rp 11.000 triliun amatlah besar.

Harta WNI yang ditempatkan di luar negeri bersumber dari beragam motif dan modus operandi, baik yang legal maupun ilegal seperti uang korupsi, penggelapan pajak, under-invoicing exports, over-invoicing imports, dan pelarian modal (capital flights) yang diestimasi dari pos net errors and omissions dalam neraca pembayaran. Bentuknya pun beragam, yang berupa aset fisik maupun finansial.

estimasi

Puncak pencapaian program amnesti pajak terjadi pada akhir periode pertama 30 September 2016. Hal ini bisa dimaklumi mengingat tarif pembayaran tebusan pada periode pertama sangat rendah dan paling rendah. Tarif untuk repatriasi dan deklarasi harta dalam negeri pada periode I adalah 2 persen, periode II 3 persen, dan periode III 5 persen. Untuk deklarasi harta luar negeri masing-masing 4 persen, 6 persen, dan 10 persen. Tak sampai tiga bulan sejak diberlakukan, dana repatriasi mencapai Rp 137 triliun. Enam bulan selanjutnya sampai akhir program, dana repatriasi hanya bertambah Rp 10 triliun.

Pola serupa terjadi pula pada perolehan dari pembayaran tebusan. Uang tebusan “murni” (tidak termasuk pembayaran tunggakan dan pembayaran bukti permulaan (bukper). Per 30 September 2016, pembayaran tebusan “murni” mencapai Rp 89,1 triliun dan enam bulan kemudian hanya naik sebesar Rp 25,2 triliun. Adapun penerimaan total dari program amnesti pajak yang masuk ke APBN per 31 Maret 2017 adalah Rp 135 triliun.

1

Realisasi pembayaran tebusan tidak banyak berubah selama periode ketiga. Sampai akhir program, realisasi pembayaran tebusan mencapai 69,3 persen, sedangkan realisasi berdasarkan surat setoran pajak (SSP)–meliputi pembayaran tunggakan dan pembayaran bukti permulaan–mencapai 81,8 persen dari target.

Mayoritas pembayar pajak besar mengikuti program pengampunan pajak pada periode pertama. Hal ini terlihat dari angka rerata tertinggi per SPH sebesar 12,1 miliar pada 27 September 2016. Setelah itu terus mengalami penurunan hingga titik terendahnya pada akhir periode menjadi Rp 4,8 miliar per SPH.

2

Program amnesti pajak terbukti tidak mampu menambah kekuarangan penerimaan pajak pada APBN 2016. Sekalipun sudah dinambah dengan pembayaran tebusan, penerimaan pajak pada 2016 hanya Rp 1.284 triliun atau 83,4 persen dari target APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539 triliun.

Tahun ini target penerimaan pajak dipatok Rp 1,435 triliun, naik 16,7 persen dibandingkan dengan realisasi 2016. Sungguh tantangan yang sangat berat mengingat pertumbuhan penerimaan pajak selama lima tahun terakhir rata-rata hanya 8 persen, tidak sampai separuh dari target.

koreksi

Sudah empat tahun berturut-turut nisbah pajak (tax ratio) mengalami penurunan terus menerus. Estimasi penulis untuk tahun ini pun masih akan turun (lihat garis putus-putus).

compare

Menaikkan nisbah pajak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, dengan partisipasi yang cukup tinggi dalam program amnesti pajak, ada secercah harapan untuk jangka menengah.

Tahun ini adalah masa konsolidasi. Pengesahan undang-undang perpajakan yang baru perlu dipercepat agar mulai tahun 2018 mulai terjadi peningkatan penerimaan pajak yang melebihi potensi alamiahnya.

Hampir tidak ada pilihan untuk tahun ini kecuali memangkas belanja modal, termasuk untuk pembangunan infrastruktur. Itulah syarat cukup agar konsolidasi fiskal berlangsung lebih mulus.

taxratio

Padahal, nisbah pajak Indonesia tergolong masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dengan Kamboja sekalipun.

[Diperbaiki pada 9 April 2017, pk. 18:44]

6 comments on “Prospek Penerimaan Pajak Pasca Tax Amnesty”

  1. -Setuju, mengubah perekonomian perlu kerja keras dan sabar mengikuti hukum ekonomi… 🙂
    -Dampak pemangkasan belanja modal akan berefek pada pelambatan ekonomi, tidak adakah jalan lain?

  2. Faisal Basri, Juru Bicara Pihak Asing?

    Sebuah kritikan pedas terhadap cara pemerintah mengelola BUMN pernah dilontarkan Faisal Basri. Dalam artikelnya yang berjudul “ Populisme dan Nasionalisme sebagai Kedok Pemburu Rente”, (faisalbasri.com, 2017), Faisal menuding betapa ‘naif”-nya pemerintahan Jokowi-JK dalam ‘mengurus’ BUMN dengan model Holding BUMN.

    “Sentimen populisme dan nasionalisme yang melanda dunia juga menerpa Indonesia. Bedanya, di Indonesia masih berkutat pada persoalan kepemilikan negara. Kedaulatan ekonomi seolah-olah terampas jika kepemilikan tidak sepenuhnya atau 100 persen di tangan badan usaha milik negara (BUMN).

    Tengok saja konsep holding BUMN. Semua induk holding dipegang oleh BUMN yang kepemilikannya 100 persen oleh pemerintah. PT Pertamina (Persero) akan memimpin holding energi dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk sebagai anggotanya”, tulis Faisal.

    Menurut Faisal, dalam menentukan kriteria Holding, pemerintah hanya mematok satu kriteria, yakni kepemilikan sahamnya 100% oleh pemerintah.

    “Yang lebih ekstrim lagi, konsep holding adalah satu-satunya pilihan untuk membenahi BUMN. Tidak ada evaluasi menyeluruh dan penyaringan apakah ada BUMN yang sudah tidak patut dipertahankan karena tidak ada eksternalitas positif atau maslahat sosialnya sama sekali. Padahal Presiden dan Menteri Keuangan telah mengingatkan jangan sampai BUMN yang kurang sehat membebani holding”, kata Faisal.

    Pertanyaan yang muncul setelah menelaah tulisan Faisal Basri adalah pada posisi mana intelektualitas Faisal Basri meletakkan dirinya dalam dinamika pergolakan ekonomi dunia?

    Pertanyaan itu cukup signifikan mengingat judul artikel yang ditulisnya demikian berbau provokatif karena seolah-olah menganggap nasionalisme dan populisme di Indonesia hanyalah sebuah kedok dari Pemburu Rente. Dengan kata lain, Faisal Basri saat ini sedang membangun paradigma berpikir bahwa nasionalisme (baca: kemandirian bangsa) indentik dan sebangun dengan Pemburu Rente.

    Barangkali Faisal Basri melupakan bahwa visi besar yang diemban pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sehingga mendapat amanah rakyat Indonesia untuk memimpin bangsa ini adalah Nawa Cita, di mana di dalammya terkandung secara jelas cita-cita Kemandirian Bangsa.

    Kemandirian Bangsa (nasionalisme) bukanlah barang “haram” karena tidak menafikkan sesuatu yang “asing”. Yang diperlukan di sana adalah bagaimana kita sebagai bangsa mampu “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa-bangsa lain.

    Menurut Faisal, saat ini BUMN kita hanya berkutat disoal kepemilikan. Lalu apakah kita harus abai dengan hal tersebut?. Kepemilikan itu jangan dianggap enteng, karena dia merupakan sumber yang bisa menggerakkan apa pun. Kepemilikan bukan hanya terkait dengan seberapa besar kita memiliki dan menguasai aset bangsa, namun ini terkait dengan “semangat” (passion) rakyat untuk ikut dengan penuh berpartisipasi pada pembangunan bangsa.

    Mungkin Faisal lupa atau memang sengaja melupakan, bahwa persoalan sengkarut bangsa kita sebelum reformasi adalah ketergantungan ekonomi dan penguasaan aset bangsa oleh asing. Hancurnya sendi-sendi ekonomi bangsa –terutama yang menguasaai hajat hidup orang banyak- di masa Orde Baru justru karena kita tak memiliki kemandian tersebut. Pastilah Faisal mengetahui hal ini dengan baik.

    Dengan menuding konsep Holding BUMN sebagai hanya kedok pemburu rente, setidaknya ada beberapa hal bisa kita tangkap dari pesan tersebut:

  3. Pertama, Faisal Basri menganggap bahwa nasionalisme yang terkandung dalam konsep Holding BUMN hanyalah cara para pemburu rente untuk menguasai aset bangsa. Dengan demikian, Faisal Basri telah meletakkan dirinya sebagai “juru bicara” pihak asing untuk tetap bercokol di Indonesia dan terus mengeruk kekayaan Indonesia.

    Coba mari kita simak tulisan Faisal ini, “Seandainya pemerintah mengambil alih saham PT Freeport Indonesia, produksi tidak otomatis naik, karena dananya hanya sekedar berpindah ke Amerika Serikat, bukan untuk ekspansi usaha. Devisa akan tergerus, padahal pemerintah sedang gencar mengundang penanaman modal asing untuk menutupi kesenjangan pembiayaan demi untuk mendorong pertumbuhan”

    Kedua, dengan demikian alur berpikir yang dikembangkan Faisal Basri adalah lebih mempercayai ‘pihak asing” dibanding anak bangsa sendiri. Logika Faisal adalah pemburu rente itu adalah anak bangsa sendiri sedangkan pihak luar (asing) itu pasti baik dan jujur.

    Bila dekimian cara berpikir seorang Faisal Basri, jangan disalahkan bila ada yang mencurigainya sebagai pihak yang memang “dibayar” untuk bersuara kritis oleh sebuah kepentingan tertentu. (*)

  4. Faisal Basri Diantara KPPU dan Mafia-Kartel

    Tahun 2000, Faisal Basri, pengamat ekonomi yang tersohor dengan kritikannya itu diangkat sebagai komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

    Didirikan 7 Juni 2000, maka bisa dikatakan Faisal Basri masuk dalam jajaran pimpinan awal lembaga KPPU ini. Dengan kata lain, Faisal Basri diamanahkan untuk mampu meletakkan dasar-dasar institusional yang kuat, berintegritas serta beribawa pada lembaga ini.

    Sebagai perbandingan dengan lembaga lain semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka sejatinya KPPU bisa menjadi sebuah lembaga primadona publik. Bagaimana pun perbandingan ini pantas kita lakukan mengingat, kedua lembaga ini merupakan ‘anak kandung’ reformasi yang lahir sebagai koreksi total atas praktek-praktek bernegara zaman Orde Baru.

    Di samping itu, kedua lembaga independen ini merupakan institusi yang memiliki daya urgensi yang besar dalam bingkai hukum dan keadilan yang memang rontok di era rezim Orba. Korupsi dan Mafia Kartel adalah dua prilaku yang bisa dikatakan demikian membutuhkan ketegasan dan perlakuan extra ordinary di republik ini.

    Namun seiring waktu, gaung KPPU tidaklah semencorong KPK. Seakan-akan lembaga ini tak memiliki “suara’ apalagi gebrakan yang mampu menyedot perhatian publik. Gerak “melempem” KPPU di masa-masa awal terbentuknya itu memang terasa janggal, karena di dalamnya ada seorang Faisal Basri yang banyak dikenal sangat kritis dan vokal. Justr ketika diberi amanah besar untuk mampu “menegakkan” keadilan dalam persaingan usaha dan “membersihkan” prilaku Mafia Kartel, Faisal Barsi malah tak banyak bersuara keras.

    Dari hasil menelusuran berbagai dokumentasi, baik melalui dokumen resmi KPPU maupun via media (on line dan cetak), tak satupun gebrakan yang kita bisa kita catat. Barangkali memang ada sedikit yang terluput dari hasil penelusuran tersebut, namun yang pasti tak satupun ‘gebrakan’ itu terabadikan di media. Bahkan yang tercatat adalah adanya salah satu komisioner seangkatan Faisal Basri (Moh Iqbal) yang di tangkap KPK.

    Fenomena melempemnya lembaga KPPU ini memang banyak menjadi sorotan publik. Namun sejak dikomandani Syarkawi Rauf, KPPU seperti bermetamorfosis. Lembaga yang dulunya lebih banyak “diam”, kini menggebrak dan memunculkan taringnya.

    Gebrakan KPPU saat ini bisa kita saksikan dengan keberaniannya membongkar praktek-praktek kartel-mafia dari berbagai sektor seperti pangan, transportasi dan lain-lain. Bagaimana pun dibutuhkan sebuah nyali besar untuk “menyeret” pemain-pemain mafia-kartel ini karena belitannya sudah sedemikian kuat dan sanggup “membeli” siapa saja untuk melancarkan aksinya. Gebrakan KPPU dibawah pimpinan Syarkawi ini memang pantas diacungi jempol.

    Namun anehnya, di tengah terbitnya harapan dan semangat akan pemberantasan Mafia-Kartel ini, kritikan pedas justru datang dari Faisal Basri. Ini memang terasa ironis bahkan terkesan membingungkan. Bagaimana tidak, Faisal Basri pernah tercatat sebagai salah satu komisioner KPPU dan sebagaimana layaknya mantan pimpinan tidaklah pantas melakukan kritik keras terhadap lembaga yang pernah dipimpinnya. Ini bisa kita lihat dari model kepemimpinan KPK dimana para mantan komisionernya, alih-alih mengeritik, malah mereka senantisa tampil mendukung kebijakan yang diambil KPK.

    Di sinilah Faisal Basri meletakkan dirinya secara tidak pantas dan tidak beretika. Intelekualitasnya yang digembar-gemborkan selama ini justru dipakai tanpa moral-etik sedikitpun. Memang tak ada yang melarang seorang Faisal mengeritik apapun, namun yang disayangkan dia terlalu ngotot mengeritik lembaga yang pernah dipimpinnya tapi tak satupun prestasi yang pernah ditorehkannya pada lembaga tersebut.

    Dengan demikian, ada banyak pertanyaan dan kecurigaan yang muncul melihat kiprah Faisal Barsi yang mendadak menjadi kritikus KPPU ini.

    Pertama, apakah memang kritikan Faisal Basri ini dilandasi oleh semangat mencari kebenaran ataukah ada kepentingan lain dibalik segala kengototannya tersebut? Ini pantas dipertanyakan karena bagaimanapun Mafia-Kartel bisa merupakan “gurita raksasa” yang tentakelnya bisa membelit siapapun. Lain halnya bila yang dibela mati-matian oleh Faisal adalah UKM-UKM kecil yang perlahan mati karena persaingan tidak sehat itu.

    Kedua, bila memang kritikan Faisal Basri bermaksus meluruskan atau minimal mengingatkan KPPU sebagai lembaga yang pernah dibesarkannya, alangkah eloknya bila dia melakukannya diam-diam. Bertemu dengan komisioner KPPU dan mencari jalan paling jitu memberantas Mafia-Kartel. Bukan sebaliknya berkoar-koar di media dan sengaja menarik perhatian publik.

    Dengan cara seperti ini, mau-tak mau kesan yang ditimbulkannya adalah kesengajaan untuk “mempermalukan’ kebijakan KPPU dan otomatis membangun opini pembelaan terhadap para terduga mafia-kartel tersebut.

    Ketiga, apakah Faisal Basri menyadari dampak dari kritikannya tersebut bagi semangat pemberantasan Mafia-Kartel di negeri ini? Bila Faisal Basri tak memikirkan hal tersebut, maka benarlah anggapan sebagian kalangan pengamat yang mengatakan Faisal Basri adalah sosok yang hanya ingin mengeksploitasi popularitasnya (baca: asal berbeda) tanpa mau tahu nilai kebaikan dan keburukan dari dampak yang timbul oleh kritikannya.

    Atau bisa saja karena memang kritikan yang dilontarkannya pada KPPU ini adalah ktitikan “pesanan” yang didesain untuk melemahkan institusi KPPU sekaligus mengendorkan semangat pemberantasan Mafia-Kartel yang saat ini sedang menggebu-gebu. Mari kita lihat. (*)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.