APBN 2017 sangat konservatif bila dibandingkan dengan APBN-P 2016. Target penerimaan total dan penerimaan pajak maupun pengeluaran mengalami penurunan, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Dalam keadaan normal, sepanjang pertumbuhan ekonomi masih positif dan terjadi inflasi (asumsi APBN 2017 masing-masing adalah 5,1 persen dan 4 persen), penerimaan pajak secara alamiah nail 9,1 persen. Ditambah kerja keras bisa naik di atas 10 persen.
Mengapa target penerimaan pajak pada APBN 2017 lebih rendah ketimbang APBN-P 2016? Boleh jadi karena sedari awal disadari target penerimaan pajak pada APBN-P 2016 tidak realistis, sebagai imbas dari APBN-P 2015 yang lebih parah ketidakrealistisannya.
Bagaimana mungkin ketika perekonomian sedang mengalami pelemahan pertumbuhan justru target pajak dinaikkan sedemikian sangat tinggi. Pada APBN 2015–yang disahkan pada pemerintahan SBY–target penerimaan pajak sudah dipatok sangat tinggi, yaitu naik 20,3 persen dibandingkan dengan realisasi APBN 2014. Pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi bukannya mengoreksi turun target penerimaan pajak itu, malahan sebaliknya mengerek lebih tinggi lagi menjadi 29,8 persen.
Ternyata realisasi penerimaan pajak tahun 2015 hanya Rp 1.240 triliun, jauh lebih rendah dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.489 triliun. Berarti hanya naik 8,1 persen dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak 2014. Angka itu bahkan lebih rendah ketimbang potensi kenaikan alamiah sebesar 8,23 persen–pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 4,88 persen ditambah inflasi tahun 2015 sebesar 3,35 persen.
Penetapan target penerimaan pajak yang terlalu ambisius terulang lagi pada APBN 2016. Pada APBN 2016 penerimaan pajak dinaikkan sebesar 24,8 persen. APBN-P 2016 hanya mengoreksi sedikit menjadi 24,1 persen.
Realisasinya (angka perkiraan sementara) jauh lebih parah ketimbang realisasi APBN 2015, yakni hanya naik 3,5 persen. Angka itu sudah termasuk hasil dari amnesti pajak–sampai 31 Desember 2016–berupa uang tebusan sebesar Rp 103,3 triliun. Jika uang tebusan dikeluarkan, penerimaan pajak tahun 2016 hanya Rp 1.181 triliun, turun dari Rp 1.240 triliun atau kemerosotan sebesar 4,8 persen. Sungguh sangat ironis, karena secara alamiah setidaknya bisa tumbuh 8,04 persen–pertumbuhan ekonomi 5,02 persen ditambah inflasi 3,02 persen.
Penerimaan dari uang tebusan mencapai puncaknya di akhir tahun 2016. Setelah itu tidak mengalami peningkatan berarti. Sampai 23 Februari 2017 tambahan uang tebusan hanya Rp 15,2 triliun dibandingkan posisi akhir September 2016 dan hanya naik Rp 1 triliun dibandingkan posisi akhir tahun 2016. Penerimaan uang tebusan sampai akhir masa program pengampunan pajak untuk menambah pemasukan pajak pada tahun 2017 diperkirakan tidak signifikan.
Jika kita mengabaikan tambahan penerimaan pajak dari uang tebusan, maka pemerintah harus amat bekerja keras untuk memenuhi target penerimaan pajak yang naik 26,9 persen. Angka ini diperoleh dari target penerimaan pajak tahun 2017 sebesar Rp 1.499 triliun dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak 2016 tanpa uang tebusan sebesar Rp 1.181 triliun.
Kalau reformasi perpajakan belum kunjung bisa diimplementasikan tahun ini, mau tidak mau pemerintah harus kembali memotong pengeluaran. Jika tidak, utang harus ditambah cukup banyak dengan ongkos yang lumayan tinggi.
-Salah satu konsekwensinya, harus memotong anggaran atau berhutang? Dilematis, solusinya?
-Bukankah dlm jangka panjang, belanja insfrastruktur akan berpengaruh thd pertumbuhan ekonomi?
Pembangunan infrastruktur memang sangat penting. Betul pembangunan infrastruktur meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, aspek pembiayaan harus diperhatikan, jangan sampai mengganggu lainnya yang pada gilirannya mengganggu pertumbuhan ekonomi pula. Dalam kondisi anggaran yg terbatas, prioritas harus dipertajam, sinergi lebih dikedepankan. Pembiayaan di luar APBN masih bisa ditingkatkan dengan memacu BUMN mencari dana di pasar modal. Contohnya Pelindo II membangun pelabuhan dan pendukungnya dengan menerbitkan obligasi dan mendapatkan 1,6 miliar dollar AS.