Salah satu faktor yang membuat perjalanan ekonomi Indonesia tertatih-tatih dan kerap mengalami kemerosotan adalah ketersediaan infrastruktur. Menurut kajian McKinsey, nilai stok infrastruktur yang memadai rata-rata sekitar 70 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Jika mengacu pada kajian itu, ketersediaan infrastruktur di Indonesia jauh dari memadai, yaitu hanya 30 persen.
Keterbatasan infrastruktur menimbulkan konsekuensi yang serius. Pertama, pola pertumbuhan tidak mengikuti pola normal. Sektor penghasil barang (pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur) tidak bisa berkembang secara optimal karena lebih sensitif terhadap ketersediaan infrastruktur ketimbang sektor jasa. Padahal, sebagian besar penduduk di negara berkembang bertumpu pada sektor penghasil barang (tradables).
Lebih khusus lagi, perkembangan industri manufaktur bakal tersendat. Peranannya terhadap PDB turun sebelum mencapai titik optimal, sebelum tuntas di tahapan industrialized. Dengan kata lain, terjadi gejala deindustrialisasi.
Daya saing perekonomian tidak kunjung membaik karena pengusaha yang hendak membangun pabrik harus menanggung ongkos tetap (fixed cost) yang lebih tinggi. Mereka harus membangun pembangkit listrik sendiri (captive power) karena listrik belum menjangkau lokas pabrik. Industri terkonsentrasi di Jawa atau lebih khusus lagi Jabodtabek yang listriknya berkecukupan. Kalaupun harus memiliki pembangkit sendiri, tujuannya untuk cadangan karena masalah keandalan. Juga harus membangun pelabuhan dan jalan sendiri.
Padahal infrastruktur dasar itu sepatutnya disediakan oleh negara.
Setuju bang Faisal. Sangat disayangkan Indonesia di masa lalu lebih suka ‘bakar duit’ dengan subsidi BBM, Ribuan trilyun rupiah yang di bakar itu sejatinya bisa menjadi pembangkit listrik ribuan megawatt, jalan raya ribuan kilometer, jalur kereta ribuan kilometer dan banyak pelabuhan. Semoga kedepannya pembangunan infrastruktur ini dapat terus di genjot.
Asal gak kena devaluasi akan tetap jalan terus mas boss……