Kenangan dengan Prof. Ali Wardhana

4 komentar

aaliwardhana

Innalillah wainna ilaihi rooji’un. Telah berpulang ekonom putra terbaik bangsa, Prof. Ali Wardhana, Senin, 14 September 2015. Pak Ali adalah Menteri Keuangan terlama (1968-83).

Hingga kini masih terngiang-ngiang kuliah perdana yang disampaikan Pak Ali sebagai Dekan Fakultas Ekonomi UI kepada mahasiswa baru tahun 1978. Pak Ali membumikan saripati ilmu ekonomi dalam bahasa keseharian sehingga mudah dipahami oleh mahasiswa baru yang belum tahu apa-apa tentang ekonomi sekalipun. Satu istilah yang disampaikannya yang tidak pernah saya lupa adalah: fallacy of composition.

Karena kuliah perdana itulah yang kian membulatkan pilihan saya untuk memilih jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan (ESP) yang sekarang berganti nama menjadi program studi ekonomi. Fakultas pun sudah berganti nama menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Berbeda dengan sekarang yang sejak masuk sudah memilih jurusan atau program studi, di masa Pak Ali sebagai dekan, pemilihan jurusan baru dilakukan pada tahun ketiga.

Angkatan 1978 masih beruntung memperoleh bekal dari ekonom generasi pertama. Selain Pak Ali, saya memperoleh bekal dari Prof. Sumitro Djojohadikusumo selama dua semester (mata kuliah Perekonomian Indonesia dan Seminar Perekonomian Indonesia), Prof. M. Sadli (Perekonomian Indonesia). Seharusnya saya pun diajar oleh Prof. Subroto selama dua semester untuk mata kuliah Ekonomi Internasional Lanjutan dan Seminar Ekonomi Internasional. Sayangnya sekalipun Prof. Subroto tak pernah hadir di perkuliahan. Yang selalu masuk kelas adalah Pak Sri Hadi. Prof. Emil Salim merupakan dosen yang paling rajin, tak pernah bolos. Kalau berhalangan dicari waktu penggantinya. Sesibuk apa pun, Prof Emil Salim menyempatkan waktu mengajar. Jika sidang kabinet atau acara lain molor, kami setia menunggu berjam-jam. Mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Emil Salim adalah Masalah dan Kebijakan dalam Pembangunan.

Semasa menjadi asisten dosen, setidaknya saya bertemu dengan senior-senior yang menjadi menteri pada forum tahunan bertajuk prospek perekonomian Indonesia. Biasanya pembahasan dilakukan di kawasan puncak. Kami yang berkiprah sepenuhnya di kampus memperoleh informasi dari tangan pertama tentang latar belakang kebijakan-kebijakan pemerintah dan persoalan-persoalan yang dihadapi beserta dengan data pendukungnya, sehingga lebih mudah memahami dinamika perekonomian. Prof. Ali Wardhana hampir selalu hadir dalam forum itu.

Kenangan yang juga tak terlupakan adalah ketika Dr. Sri Mulyani dan saya diundang makan siang oleh Prof. Ali Wardhana dan Prof. Widjojo Nitisastro di ruangan privat restoran Italia “Ambiente” di Hotel Aryaduta Tugu Tani. Kalau tak salah ingat kejadiannya sekitar tahun 1999. Ambiente merupakan restoran favorit Pak Widjojo.

Dalam pertemuan itu Prof. Ali lebih banyak bicara. Ia menceritakan proses penanganan krisis 1998. “Di ruangan inilah Pak Widjojo memberikan masukan atau briefing kepada Tim IMF yang dipimpin oleh Hubert Neiss,” kata Prof. Ali. Masukan itulah yang akhirnya tertera dalam Letter of Intent (LoI) berupa matriks rencana aksi yang bersifat mengikat. Misalnya menghapuskan program mobil nasional dan melumatkan monopoli cengkeh.

Sebagian isi rencana aksi itu sebetulnya merupakan penyakit lama yang menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung tersesaikan karena terkait dengan kepentingan keluarga Soeharto. Momentum krisis dimanfaatkan untuk membakar lemak-lemak yang kian menyelubungi perekonomian dengan menggunakan “tangan” IMF.

Pak Ali juga menceritakan pengalaman Indonesia terpaksa meminta bantuan IMF di masa awal Orde Baru. Kala itu LoI ditandatangani oleh Frans Seda. Betapa sakitnya kita waktu itu harus menelan pil pahit resep IMF. Prof. Ali wanti-wanti jangan sampai kita meneken LoI lagi. Kala itu, Hubert Neiss sudah menjadi tim IMF ke Indonesia, mungkin baru sebagai asisten. Ternyata sejarah berulang. Kita minta bantuan darurat dari IMF untuk mengatasi krisis 1998 sehingga harus menelan pil yang amat pahit.

Bekal dari pertemuan itu betul-betul berguna ketika saya ditunjuk oleh Presiden Gusdur menjadi anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden bersama dengan Prof. Widjojo, DR. Sri Mulyani, dan Alim Markus (pemilik Maspion Group).

Prof. Ali adalah sosok teknokrat handal, arif, dan berwibawa. Ia tidak mengumbar pernyataan. Sangat jarang melayani wawancara door stop. Ucapan-ucapannya sangat terukur dan tentu saja menjadi terpercaya dan kredibel sehingga menjadi acuan dunia usaha dan masyarakat luas.

Suatu ketika saya bertemu Prof. Ali Wardhana di kampus. Ia menyapa saya dan berujar: “Saya selalu mendengarkan acara anda di Delta FM setiap hari Senin pagi.” [Saya sempat menjadi host acara dialog ekonomi di Delta FM selama sekitar dua tahun.] Begitulah sosok yang selalu hangat kepada murid-muridnya, mendorong yang muda untuk maju dan berkarya.

Selamat jalan Prof. Ali Wardhana. Suri tauladan dan ilmu yang Bapak alirkan kepada kami sungguh sangat berharga. Insya Allah menjadi amal ibadah, bakal menemui Sang Pencipta.

4 comments on “Kenangan dengan Prof. Ali Wardhana”

  1. Waah, ternyata memang sudah jadi tradisi FEB UI kalo kuliah perdana diisi dengan tokoh di bidang ekonomi (sekaligus alumni FEUI). 3 minggu lalu saya dan rekan2 seangkatan (FEB UI 2015) juga menghadiri kuliah perdana yg diisi oleh pak Menkeu..

    Sama satu pertanyaan lagi pak, memangnya mayoritas ekonom alumni FEB UI itu berasal dari studi ekonomi pembangunan (sekarang ilmu ekonomi) ya pak? Terima kasihh

  2. bung faisal, mohon anda bantu kita masyarakat belajar menilai SEIMBANG, yaitu disusun singkat padat overview dalam bentuk DEBIT dan KREDIT , prestasi perbuatan yg positiv, dan lemberan sebelahnya yg negativ merugikan.
    di ui kan ada lembaga reset ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dsb…
    dlm hal ali wardhana, dan juga muridnya sri mulyani mislanya, kita bingung terus baca dan dengar hebat hebat dsb…….
    juga 6 presiden serta wakil2nya, tak ada DEBETnya…..hebat hebat….

    timbul pertanyaan : kok negara dan rakyat terpuruk jadi tetap miskin sengsara, padahal 65 tahun kekayaan bumi yg hebat, digali dan diekspor, tetap rupiah jadi 14.400 dibanding waktu radius jadi gub. bi 1970 1u$ 300 , dan asing makin dominasi nkri…..

    kita tidak bisa menandingi kor-selatan, hanya 30juta penduduk, tanpa kekayaan sda.,,,,,
    juga mulai membangun dibawah pimpinan sesorang jendral angkatan daratnya park….

    apakah ini karena 12 kelemahan manusia indonesia seperti ditulis mochtar lbis thn 70an dibukunya MANUSIA INDONESIA:::…?

    trims
    y.santo, 17sept

  3. Bang Faisal sy pny pertanyaan yg blm ktm jawaban memuaskan sd hari ini. Kenapa RI tdk diajak gabung ke BRICK pdhl market size kita lbh bsr dr Afsel?. Salam.

    1. Di masa pemerintahan sebelumnya, politik luar negeri kita agak lembek terhadap Amerika Serikat. Itu tampaknya yang jadi factor kita tidak diundang ke BRICS.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.