Beredar di media sosial rupiah bakal terperosok lebih parah ketimbang tahun 1998. Bisa terpuruk ke level Rp 25.000 per dollar AS, kata berita itu yang tak jelas siapa yang menjadi sumbernya.
Banyak pertanyaan yang saya terima dari berbagai kalangan, termasuk dari sekretaris saya yang tidak biasa-biasanya bertanya soal ekonomi.
Tahun 1998 betul-betul merupakan malapetaka bagi Bangsa Indonesia. Krisis ekonomi bersamaan dengan krisis yang nyaris mengenai segala aspek kehidupan.
Pertumbuhan ekonomi terperosok sangat dalam yang tak pernah kita alami sedalam itu sebelumnya, yakni minus 13,1 persen. Laju inflasi membubung hingga mencapai lebih dari 80 persen. Nilai tukar rupiah melambung hingga Rp 16.650 per dollar AS. Suku bunga meroket sampai 70,6 persen.
Impor merosot sebesar 30,9 persen dan defisit akun lancar (current account) mencapai 4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit ini boro-boro bias ditutup oleh arus modal masuk. Sebaliknya, modal berlarian ke luar negeri (capital flight). Akibatnya cadangan devisa terkuras hingga hanya tertinggal sebesar 14,1 miliar dollar AS.
Utang pemerintah tak terperikan, mirip dengan utang Yunani sekarang, lebih dari 100 persen PDB.
Indeks harga saham menuju nol, sempat hanya bertengger di aras 257 saja.
Kondisi yang sedemikian buruk itu boleh dikatakan merupakan kebangkrutan Orde Baru yang akhirnya membuat rezim otoriter Soeharto tumbang. Inilah hasil dari rezim otoriter yang tanpa checks and balances, membiarkan distorsi pasar berlangsung amat panjang sampai akhirnya sistem yang ada tidak lagi mampu menopang beban berat dari segala praktek yang merusak tatanan dan akal sehat.
Harus kita ingat pula di masa itu perbankan porak poranda dan mengalami kebangkrutan massal sehingga harus disuntikkan dana tak kurang dari Rp 650 triliun agar tidak bangkrut total. Padahal perbankan adalah jantung perekonomian. Tanpa penyelamatan yang ongkosnya paling mahal sepanjang sejarah peradaban dunia, jantung perekonomian bakal betul-betul berhenti berdetak.
Sekarang kita masih tumbuh walau melambat, hanya 4,7 persen. Hampir semua negara pun mengalami perlambatan, termasuk China yang digjaya itu. Laju inflasi masih satu digit, suku bunga kredit belasan persen, cadangan devisa lumayan. Defisit akun lancar hanya 1,9 persen PDB pada triwulan I-2015. Indeks harga saham masih lumayan tinggi, 4.900-an.
Perbankan kita tergolong sangat sehat. Tengok saja hampir semua indikator kesehatan bank menunjukkan perbankan kita jauh dari bermasalah.
Masalah yang kita alami sekarang lebih pada persoalan manajemen jangka pendek yang buruk. Tidak ada konduktor yang memberikan aba-aba secara cermat dan piawai mengarahkan para perumus kebijakan.
Syukur kita memiliki harta karun yang amat berharga, yakni demokrasi. Kemencengan dengan mudah dilihat oleh siapa pun. Kita yang di luar pemerintahan akan serta merta berteriak kalau pemerintah berbuat kesalahan. Pilar-pilar demokrasi akan segera mengoreksi kesalahan itu. Pemerintah dipaksa untuk mendengar dan mengoreksinya.
Tinggal kita tunggu proses koreksi itu. Insya Allah tidak lama.

Tinggalkan Balasan ke Mas Boy Batalkan balasan