Prospek Ekonomi 2014

4 komentar

Perekonomian Indonesia telah mengalami perlambatan selama lima triwulan berturut-turut. Sudah lima triwulan berturut-turut pula pertumbuhan investasi (pembentukan modal tetap bruto)  mengalami penurunan, dari 12,3 persen pada triwulan II-2012 menjadi hanya 4,5 persen pada triwulan III-2013. Sementara itu, motor pertumbuhan ekonomi utama, konsumsi rumah tangga,  hanya turun tiga triwulan berturut-turut sejak triwulan terakhir 2012, tetapi naik kembali pada triwulan III-2013 menjadi 5,5 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2012 bahkan melampaui pencapaian triwulan IV-2012.

Perekonomian Indonesia  yang dalam beberapa tahun terakhir sudah terbang dengan dua mesin, dalam hampir setahun belakangan ini hanya terbang dengan satu mesin, yaitu konsumsi rumah tangga. Sekalipun demikian,  tampaknya para penentu kebijakan makroekonomi memandang perekonomian terbang masih terlalu tinggi sehingga harus diredam.  Pada pertemuan tahunan perbankan pertengahan November lalu, Gubernur Bank Indonesia menegaskan akan mengetatkan kebijakan moneter untuk meredam pertumbuhan kredit yang masih saja  di atas 20 persen, bahkan pada bulan September naik menjadi 23 persen. Sinyal kuat yang disampaikan Gubernur BI tercermin dari target pertumbuhan kredit tahun 2014 yang hanya sekitar 15-17 persen.

Jalan pintas untuk semakin menekan pertumbuhan ekonomi adalah dengan menaikkan BI rate. Sejak Juni 2013 Bank Indonesia sudah lima kali menaikkan BI rate yang totalnya sebesar 175 basis poin sehingga sekarang bertengger di aras 7,5 persen. Berbeda dengan tiga kali kenaikan BI rate sebelumnya yang bertujuan untuk mengantisipasi peningkatan laju inflasi akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, dua kali kenaikan BI rate terakhir lebih ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan menekan defisit akun semasa (current account)  mengingat laju inflasi dalam dua bulan terakhir sudah mulai turun dari puncaknya pada bulan Agustus lalu.

Pemerintah dan Bank Indonesia mengirimkan sinyal akan menahan laju pertumbuhan ekonomi tetapi sebaliknya menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2014 lebih tinggi ketimbang tahun 2013. Sinyal yang agak membingungkan ini tak perlu membuat bingung khalayak. Biarkanlah pemerintah dan Bank Indonesia dengan kebingungannya sendiri. Apalagi mengingat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah hampir berakhir dan tak banyak lagi yang bisa diharapkan.

Kita fokuskan saja meneropong masa depan perekonomian, khususnya tahun 2014, dengan lebih banyak mencermati geliat konsumsi rumah tangga dan investasi swasta. Kedua komponen ini sangat menentukan ketimbang postur anggaran pemerintah (APBN) karena menyumbang sekitar 85 persen produk domestik bruto (PDB). Sepanjang tidak ada kebijakan kontroversial yang sangat kontraproduktif, tampaknya prospek ekonomi tahun depan masih bisa kita raba dan diharapkan tidak terlalu melenceng.

Sepanjang Bank Indonesia tidak memaksakan kehendak kepada industri perbankan, tampaknya pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun 2014 akan tetap tinggi di atas 5 persen. Ada tiga penggerak utamanya. Pertama, mulai awal tahun 2014 para calon legislatif dan calon presiden semakin gencar belanja untuk kampanye. Sudah muncul ke permukaan belasan orang yang menyalonkan diri menjadi presiden dan ratusan ribu calon anggota legislatif (DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dan DPD). Setidaknya puluhan triliun rupiah dana akan langsung mengalir ke masyarakat luas. Kedua, jumlah strata menengah berusia relatif muda terus bertambah yang haus belanja. Ketiga, lapisan penduduk produktif berusia muda mencapai sekitar separuh dari jumlah penduduk mendambakan perumahan dan kendaraan. Permintaan dari kalangan menengah muda ini nyata sehingga tak akan terbendung oleh sekedar kenaikan suku bunga 1-2 persen akibat kebijakan moneter Bank Indonesia yang semakin ketat. Kalangan menangah muda tak akan banyak terpengaruh oleh gemuruh politik. Mereka tak menunggu pemilu selesai atau presiden terpilih yang baru.

Sejalan dengan fenomena semakin lemahnya kaitan langsung antara peristiwa politik dan kinerja ekonomi, mayoritas kalangan dunia usaha baik nasional maupun asing akan merealisasikan rencana investasinya tanpa menunggu hasil pemilu maupun pemilihan presiden. Keterlambatan merealisasikan investasi bisa berpotensi pangsa pasar direbut oleh pesaing dan terlambat menikmati peluang perluasan pasar yang diperkirakan kian lebar mulai tahun 2015. Apalagi jika presiden baru nanti mampu meraih kepercayaan besar dari pemilih sehingga beroleh dukungan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan struktural yang menohok ke akar masalah yang selama ini menggelayuti perekonomian nasional. Figur yang paling potensial akan muncul sebelum pemilu April 2013, sehingga mempercepat kepastian di kalangan dunia usaha.

Selain kedua faktor di atas, lingkungan perekonomian global juga diperkirakan lebih kondusif. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2014 diperkirakan lebih baik daripada tahun ini. Pertumbuhan ekspor dunia pun diharapkan bakal lebih tinggi. Harga-harga komoditi diperkirakan telah mencapai titik terendah sehingga bisa mendongkrak ekspor Indonesia, terutama batubara, karet, minyak sawit, serta produk-produk pertanian dan tambang lainnya. Satu saja yang perlu lebih diwaspadai, yaitu kecenderungan perekonomian China yang terus melemah. Pertumbuhan ekonomi China sudah empat tahun berturut-turut mengalami penurunan, dari 10,4 persen tahun 2010 menjadi 9,3 tahun 2011 dan 7,8 tahun 2012. Tahun ini diperkirakan lebih rendah lagi menjadi 7,6 persen dan tahun depan terus melemah menjadi 7,3 persen. Padahal, China merupakan mitra dagang utama, baik sebagai tujuan ekspor maupun asal impor. Pemerintah sepatutnya sudah mengambil langkah nyata untuk mendiversifikasikan tujuan ekspor untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dialami China yang perekonomiannya sudah menjadi yang terbesar kedua di dunia.

Stabilitas makroekonomi tahun 2014, walaupun tanpa sentuhan berarti dari pemerintah, diperkirakan lebih baik dari tahun ini. Yang paling terasa adalah laju inflasi diharapkan turun sampai di bawah 5 persen. Ditopang oleh kondisi industri perbankan yang “segar bugar” sebagai jantung perekonomian, perekonomian Indonesia memiliki ruang gerak yang cukup leluasa untuk tumbuh lebih cepat secara berkelanjutan.

Peranan investasi asing diperkirakan semakin besar. Pada tahun 2012 untuk pertama kalinya Indonesia masuk ke dalam kelompok 20 besar negara penyerap investasi asing langsung. Berdasarkan survei UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) terbaru, pada tahun 2013-2015 Indonesia berada di urutan keempat sebagai negara paling prospektif bagi investasi asing langsung. Penilaian yang semakin baik juga diberikan oleh JBIC yang menempatkan Indonesia di urutan ketiga di mata perusahaan manufaktur Jepang yang beroperasi di luar negeri.

Dengan demikian, tak berlebihan jika perekonomian Indonesia tahun 2014 diperkirakan tumbuh lebih tinggi ketimbang tahun ini. Semua prediksi dari lembaga terkemuka dunia pun, kecuali Bank Dunia, mengutarakan kecenderungan serupa.

Oleh karena itu, amat disayangkan kalau para petinggi perumus kebijakan ekonomi justru lebh kerap menghembuskan pesimisme. Apalagi pesimisme itu dilandasi oleh penilaian yang keliru atas perkembangan ekonomi global. Mereka terlena dan terpenjara dengan apa yang bakal dilakukan oleh The Fed. Ambil contoh pidato Gubernur BI:  “…. Kami bergabung dengan Bank Indonesia pada 24 Mei 2013, tepat dua hari setelah Chairman dari Federal Reserve memberikan sinyalemen akan mengurangi stimulus moneter (tapering). Sinyalemen yang singkat, namun pengaruhnya mendunia. Sejak saat itu, hari demi hari hingga akhir Agustus lalu, ekonomi kita ditandai dengan derasnya aliran keluar modal portofolio asing, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah dengan cukup tajam.” (Paragraf pembuka isi pidato Gubernur Bank Indonesia pada acara “Governor’s Address & Annual Bankers’ Dinner 2013,” Jakarta, 14 November 2013). Nada serupa disampaikan Menteri Keuangan: “Indonesia’s rupiah and bond yields will return to levels seen in 2009 after the Federal Reserve cuts stimulus that has buoyed emerging-market assets, Finance Minister Chatib Basri said.” (Bloomberg.com, Indonesia’s Basri Sees Rupiah Back to 2009 Levels After QE Taper http://bloom.bg/1cHKkKO, November 8, 2013.)

Data neraca pembayaran terbaru tidak menunjukkan demikian. Arus modal asing masuk, baik investasi asing langsung maupun investasi portofolio, tetap tinggi. Kondisi dewasa ini amat berbeda dengan tahun 2008 dan 2009 seperti disinyalir Menteri Keuangan.

Semoga pemimpin baru nanti betul-betul ampuh memadukan kekuatan bangsa yang selama ini berserakan, bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Tutup rapat-rapat saluran bagi aura pesimisme.

4 comments on “Prospek Ekonomi 2014”

  1. Today, I went to the beach front with my children. I found a sea
    shell and gave it to my 4 year old daughter and said
    “You can hear the ocean if you put this to your ear.” She placed the shell to
    her ear and screamed. There was a hermit crab inside and it pinched her
    ear. She never wants to go back! LoL I know this is entirely off topic but I had to tell someone!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.