Undang-Undang Dasar 1945 menyiratkan sistem pemerintahan presidensial. Di negara yang menganut sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, Presiden Soekarno sampai Presiden Megawati dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Baru sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rakyat memilihnya secara langsung. Namun, ketika bandul bergerak ke sistem presidensial, kewenangan-kewenangan presiden banyak yang dilucuti. Roda pemerintahan berjalan lebih lambat. Sekarang saja lebih 40 posisi duta besar kosong. DPR bisa menolak usulan calon duta besar dari presiden. Partai-partai mengajukan calonnya sendiri, sehingga makin banyak orang partai menjadi duta besar. Banyak lagi jabatan yang harus dengan persetujuan DPR. Akibatnya muncul pasar “jual beli” jabatan. Tengok saja hakim-hakim Mahkamah Konstitusi yang makin banyak diisi mantan petinggi partai. Orang-orang partai Juga makin banyak mengisi posisi di pimpinan BPK, Mahkamah Agung, Badan Supervisi Bank Indonesia, KPPU, Ombudsman Nasional. Sekarang orang partai pun bisa menjadi anggota DPD.
Anggota DPR ikut menentukan APBN sampai satuan tiga, sangat mikro dan teknis di tingkat proyek. jadi pembahasan anggaran tidak lagi sekedar menentukan kebijakan dan alokasi anggaran untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah disepakati atau target-target makroekonomi atau pun ekonomi politik anggaran.
Di negara yang menganut presidensial, presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pemerintahan akan stabil atau tidak kerap berganti jika jumlah partai politik yang menguasai parlemen tidak banyak. Dalam kasus Amerika Serikat hanya ada dua partai, yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Jika presiden berasal dari partai yang sama dengan partai yang menguasai DPR dan Senat, presiden lebih leluasa menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan platform yang ditawarkannya sewaktu kampanye. Sebaliknya, jika DPR dan atau senat dikuasai oleh partai oposisi seperti dewasa ini, presiden terpaksa harus lebih kompromistik dengan Partai Republik. Akibatnya cukup banyak program Obama yang terganjal atau terpaksa dimodifikasi untuk menampung keinginan Partai Oposisi. Sekuat-kuatnya partai oposisi, mereka tak bisa menjatuhkan pemerintah karena perbedaan preferensi kebijakan.
Pemilihan presiden dan anggota parlemen biasanya dilakukan serempak. Bisa juga pemilihan anggota parlemen dilakukan dua kali. Tidak ada kebutuhan untuk mendahulukan pemilihan umum anggota parlemen karena pemilihan presiden tak ditentukan oleh berapa banyak suara yang diperoleh partai pada pemilu.
Berbeda dengan sistem parlementer. Kepala pemerintahan ditentukan oleh hasil pemilu legislatif. Partai atau sekelompok partai yang berkoalisi harus memiliki suara mayoritas di parlemen.
Ada ongkos yang harus dibayar oleh partai-partai yang berkoalisi. Jika satu atau lebih partai anggota koalisi tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah, partai tersebut akan keluar dari koalisi. Anggota partainya yang menduduki jabatan menteri otomatis akan mengundurkan diri. Jika anggota koalisi yang tersisa di pemerintahan masih memiliki suara mayoritas di parlemen, pemerintahan bisa tetap berlanjut. Tetapi jika keluarnya partai atau partai-partai dari koalisi membuat suara partai-partai tersisa di pemerintah tak lagi mayoritas, maka perdana menteri akan membubarkan parlemen dan segera melaksanakan pemilu. Perdana menteri juga bisa mempercepat pelaksanaan pemilu karena alasan-alasan tertentu.
Praktik sistem presidensial di Indonesia sangat unik. Pemilu legislatif digelar terlebih dahulu. Ada presidential threshold. Calon presiden hanya bisa diusung oleh partai atau sekelompok partai yang setidaknya memiliki 20 persen kursi di DPR. Jadi hanya partai yang bisa mencalonkan presiden. Calon independen tak diberi peluang sama sekali.
Indonesia adalah negara yang amat bhineka, beragam suku, agama dan aliran, asal pulau, latar belakang sosial dan budaya, serta latar belakang sejarah. Soeharto pernah memaksakan penciutan jumlah partai menjadi hanya tiga partai. Itu bisa dilakukan karena titah. Tatkala alam demokrasi membentang, kembali menjamur partai-partai baru. Agaknya kurang realistik untuk membayangkan penciutan jumlah partai dalam waktu dekat.
Jadi, bagaimana membuat sistem presidensial bisa menghasilkan pemerintahan yang stabil dan lebih efektif menjalankan roda pemerintahan?
Ada dua pilihan. Pertama, memperkokoh kewenangan presiden di satu pihak dan meluruskan kewenangan parlemen. Bukan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli yang menanamkan benih-benih otoritarianisme. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa kewenangan presiden tidak tak terbatas.
Kedua, presiden memiliki kewenangan yang cukup besar dan luas, namun pengelolaan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada perdana menteri atau sebutan lain yang disepakati oleh pembuat undang-undang. Presiden menunjukkan perdana menteri seperti presiden menunjuk tiga menteri koordinator. Anggap saja nanti pendana menteri itu super-menteri koordinator. Karena sudah ada perdana menteri, posisi menteri koordinator dihapuskan. Setahu penulis, hanya Indonesia yang memiliki menteri koordinator.
“Perdana menteri” a la Indonesia dipilih dari tokoh salah satu partai koalisi atau partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu atau pun tokoh non-partai yang disepakati oleh partai-partai anggota koalisi, seperti Mario Monti yang menjadi perdana menteri Italia pada 2011-2013 dan perdana menteri India sekarang, Manmohan Singh.
Perdana menteri memimpin pemerintahan koalisi. Semua anggota koalisi harus disiplin, tidak gratisan. Jika ada anggota partai koalisi menentang kebijakan pemerintah, partai itu harus keluar dari koalisi dan menarik menterinya. Jadi sangat berbeda dengan praktik selama pemerintahan SBY.
Seandainya kedua alternatif ditolak, carilah alternatif lain. Jangan biarkan sistem pemerintahan serba tanggung. Kita membutuhkan pemerintahan yang kuat, bukan sosok otoriter.