Apakah ideologi negara kita? Bukan free fight liberalism dan bukan juga etatisme. Jadi apa? Entahlah, tak pernah jelas sosoknya, sehingga menimbulkan perdebatan tak jelas titik pijaknya.
Kerancuan juga terlihat dalam hal bentuk negara. Kita menyatakan diri sebagai negara kesatuan. Sedemikian sakralnya NKRI sampai-sampai tercantum ketentuan di Pasal 37 ayat (5): “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.” Dalam praktiknya kita menganut federalism terbatas dengan memberikan kekhususan kepada provinsi NAD, Yogyakarta, Papua, dan DKI Jakarta. Keempat provinsi ini bisa dikatakan sebagai benih-benih negara bagian yang memiliki hak dan perlakuan khusus yang tak dinikmati oleh provinsi-provinsi lain. Apakah provinsi-provinsi lain tak memiliki kekhususan? Sudah barang tentu setiap provinsi memiliki sejumlah keunikan. Mereka pun berhak untuk memperoleh perlakuan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing. Sepatutnya di dalam UUD 1945 tercantum penjelasan yang spesifik tentang makna negara kesatuan serta perangkat untuk menjamin tak ada diskriminasi antardaerah di depan hukum.
Bentuk pemerintahan juga begitu. Resminya menganut presidensiil. Tapi tengok, dari Presiden Soekarno sampai Presiden Megawati dipilih oleh parlemen (MPR). Baru pada era Presiden SBY-lah presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ironisnya hak dan kewenangan presiden sudah banyak dilucuti oleh parlemen. Karena posisi presiden makin lemah, maka presiden dipaksa kompromi dengan partai-partai di parlemen, sehingga memunculkan praktik koalisi. Padahal, koalisi lazimnya terjadi pada sistem parlementer. ***