
Ketika membaca judul tulisan R. William Liddle “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu di Indonesia dan Amerika Serikat,” serta merta saya teringat percakapan dengan mendiang Nurcholish Madjid (Cak Nur). Beberapa kali Cak Nur mengutarakan bahwa para founding fathers, bapak-bapak pendiri negeri ini, banyak terilhami oleh sejarah pembentukan Amerika Serikat.
Cak Nur memberikan contoh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ada kemiripan dengan Declaration of Independence. Kita pun memilih Republik sebagai bentuk negara sebagaimana Amerika Serikat. Lambang negara kita adalah elang rajawali, garuda, sebagaimana juga Amerika Serikat menjadikan seekor elang sebagai lambang negaranya. Sistem pemerintahan Indonesia dan Amerika Serikat pun sama, presidensiil.
Yang tak kita tiru, masih ujar Cak Nur, adalah federalisme. Tak berarti bahwa perdebatan tentang federalisme tak pernah mengemuka. Bahkan kita sempat, walau sebentar, berada di bawah naungan Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950).
Tentu saja perjalanan bernegara di Amerika Serikat sangat berbeda dengan di Indonesia. Dalam hal berkonstitusi saja, misalnya. Konstitusi Amerika Serikat sudah diamandemen berulang kali, 27 kali. Amandemen pertama diajukan 13 tahun setelah Declaration of Independence. Karena, konstitusi harus mampu menjawab tantangan-tantangan baru untuk lebih mengokohkan nilai-nilai inti yang diyakini bersama untuk mencapai tujuan bersama, yakni: Life, Liberty and the pursuit of Happiness. Konstitusi juga menetapkan kendaraan untuk mencapai tujuan bersama itu. Selain tentu saja membuat rambu-rambu dan tata aturan agar roda pemerintahan bisa berjalan dengan lancar dan akuntabel sehingga memperoleh legitimasi dari rakyat.
Apakah kehidupan bernegara di Amerika Serikat adalah contoh terbaik? Tidak harus mencontoh, tentu saja. Kita bisa belajar banyak dari perjalanan sejarah bangsa-bangsa, namun kita harus menemukenali diri kita sendiri dan memilih model untuk kita sendiri sesuai dengan nilai-nilai inti yang kita anut dan lingkungan strategis yang kita hadapi.
Bentuk pemerintahan presidensiil a la Amerika Serikat ternyata membuat Presiden Obama tak banyak bisa bermanuver untuk melaksanakan program-programnya karena pada tahun kedua pemerintahannya Congress dikuasai oleh Partai Republik. Obama kian tak leluasa mewujudkan rencana-rencananya untuk urusan domestik. Oleh karena itu bisa dipahami jika Obama kian banyak mencurahkan perhatiannya di kancah internasional karena lebih leluasa bermanuver tanpa kendala ketat dari Congress. Padahal, begitu banyak masalah mendasar yang sedang menghadang perekonomian domestik AS, seperti pengangguran, utang federal yang menumpuk, dan defisit anggaran.
Walaupun unsur-unsur dari sistem presidensiil kita berbeda dengan Amerika Serikat, tampaknya ada kemiripan dalam hal peran presiden yang kian terbatas pascareformasi. Pendulum bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem lain. Dari dominasi kewenangan di tangan presiden ke semakin banyak kewenangan di tangan DPR yang merupakan representasi partai politik. Peran partai politik sangat dominan dan kian dominan karena kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipasung. Undang-Undang Dasar 1945 tak secara tegas mengamanatkan keberadaan DPD di dalam kerangka bikameral. DPD baru sebatas etalase dari representasi daerah tanpa peran nyata sebagai pengimbang DPR dan sekaligus sebagai pilar kembar di dalam sistem bikameral.
Pergeseran bandul kewenangan ke DPR tak diiringi dengan penguatan checks and balances. Sistem pengawasan sangat lemah untuk mengoreksi DPR dan partai politik, sehingga menimbulkan oligarki politik yang membuat aspirasi rakyat makin terbenam.
Jika di Amerika Serikat sistem presidensiil ditopang oleh dua partai, di Indonesia partai-partai masih relatif banyak dan tak ada satu partai pun yang memegang kursi mayoritas di DPR. Presiden dipaksa agar partainya berkoalisasi dengan beberapa partai lain agar kebijakannya beroleh dukungan cukup dari DPR. Namun, koalisasi a la parlementer tak berlangsung mulus. Partai-partai pendukung Presiden jauh dari loyal dan kalau tak mengikuti garis kebijakan pemerintah sekalipun tak dikenakan sanksi menarik menteri-menterinya dari kabinet. Jadi tak ada ongkos jika membangkang sebagaimana berlaku otomatis pada sistem parlementer.
Sejarah juga mencatat betapa antara sistem yang dipilih dengan kenyataan yang terjadi bertolak belakang. Walau kita menganut presidensiil, namun sejak Soekarno hingga Megawati, presiden diangkat dan diberhentikan oleh parlemen (MPR). Ironisnya, tatkala pendulum bergerak menuju presidensiil yang lebih murni sejak SBY dipilih langsung oleh rakyat, justru kewenangan-kewenangan presiden kian dilucuti.
Banyak lagi kerancuan dalam kehidupan politik di Indonesia. Undang-undang dibuat bersama oleh DPR (legislatif) dan pemerintah (eksekutif). Undang-undang baru sah jika ditandatangani oleh Presiden. Namun, jika presiden tidak menandatangani dalam waktu satu bulan, maka undang-undang tersebut otomatis berlaku. Berbeda dengan praktik di Amerika Serikat yang mana Presiden sebagai pelaksana undang-undang memiliki hak veto. Sementara itu, wajar kalau di Indonesia presiden tak memiliki hak veto karena pemerintah ikut serta dalam penyusunan dan pembahasan undang-undang hingga tuntas.
Kerancuan juga terlihat dalam hal bentuk negara. Kita menyatakan diri sebagai negara kesatuan. Sedemikian sakralnya NKRI sampai-sampai tercantum ketentuan di Pasal 37 ayat (5): “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.” Dalam praktiknya kita memberikan kekhususan kepada provinsi NAD, Yogyakarta, Papua, dan DKI Jakarta. Keempat provinsi ini bisa dikatakan sebagai benih-benih negara bagian yang memiliki hak dan perlakuan khusus yang tak dinikmati oleh provinsi-provinsi lain. Apakah provinsi-provinsi lain tak memiliki kekhususan? Sudah barang tentu setiap provinsi memiliki sejumlah keunikan. Mereka pun berhak untuk memperoleh perlakuan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing. Sepatutnya di dalam UUD 1945 tercantum penjelasan yang spesifik tentang makna negara kesatuan serta perangkat untuk menjamin tak ada diskriminasi antardaerah di depan hukum.
Kita pun tak menemukan pilihan kendaraan untuk mencapai tujuan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum di dalam pembukaan UUD 1945. Tak ada sama sekali ketentuan tentang bagaimana negara dan pasar berperan untuk memakmurkan rakyat. Bahkan kata “pasar” tak tercantum di dalam konstitusi kita. Amandemen UUD 1945 hanya mencantumkan istilah demokrasi ekonomi tanpa penjelasan sama sekali. Tak ada pula pengaturan dan perlindungan atas hak milik perseoranga, padahal property right merupakan pilr utama dalam sistem pasar.
Yang mengemuka adalah penonjolan kedudukan negara sebagaimana tercantum di dalam Pasal 33 UUD 1945. Di sini sangat kuat kesan bahwa kita menganut etatisme. Tengok misalnya interpretasi Mahkamah Konstitusi tentang pengertian “hak menguasai negara” mencakup pengertian bahwa negara: (1) merumuskan kebijakan (beleid), (2) melakukan pengaturan (regelendaad), (3) melakukan pengurusan (bestuurdaad), (4) melakukan pengelolaan (behersdaad), dan (5) melakukan pengawasan (toezichthoundendaad). Adapun Mohammad Hatta menginterpretasikan hak menguasai negara itu adalah negara mengatur, bukan memiliki.
Ketentuan dan pengaturan yang sangat mengambang membuat kerap terjadi perdebatan berkepanjangan yang tak berkesudahan dan berulang-ulang. Misalnya kontroversi mengenai peran asing di dalam perekonomian, penanganan badan usaha milik negara, perdagangan luar negeri, dan peran negara di dalam perekonomian.
Nurcholish Madjid sangat memahami kondisi dan permasalahan bangsanya. Bagi Cak Nur, negara-bangsa Indonesia belumlah final. Undang-Undang Dasar 1945 sedemikian lama disakralkan. Padahal, para perumus UUD 1945 sadar betul bahwa yang mereka persiapkan adalah undang-undang dasar yang sifatnya sementara, sebagai salah satu syarat Indonesia merdeka. Kesadaran ini terlihat dari Aturan Peralihan: “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Perjalanan demokrasi kita bakal terseok-seok dan kian sulit membayangkan kita menuju demokrasi maju sebagaimana harapan William Liddle. Di dalam makalahnya Liddle memang tak menyentuh persoalan institusi, karena pendekatan yang ia pilih bukanlah pendekatan institusional. Mungkin Liddle memandang bahwa pembenahan institusional sangat bersifat normatif, sehingga cenderung ilusif. Liddle menginginkan ada suatu kerangka tindakan pragmatik dalam jangka pendek dan menengah.
Walaupun tampaknya sulit untuk menerapkan teori tindakan yang bersumber dari pemikiran Machiavelli dalam keadaan politik yang stabil, namun ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk memajukan demokrasi. Misalnya, struktur kekuatan politik bisa diubah dengan kehadiran calon independen dalam pemilukada gubernur/bupati/walikota. Perbaikan struktur politik di tingkat nasional bisa dimulai di tingkat provinsi/kabupaten/kota. Dengan kemunculan semakin banyak islands of integrity ini partai-partai dipaksa untuk melakukan pembenahan internal. Setidaknya, kita bisa menurunkan harga di pasar politik dan memaksa partai-partai untuk memilih calon-calonnya yang lebih bermutu. Ternyata kehadiran calon-calon independen telah membuahkan hasil yang cukup menggembirakan.
Percepatan proses perubahan menuju demokrasi yang lebih bermutu bisa juga dilakukan dengan memperkokoh kekuatan civil society. Sudah teramat lama civil society dibelenggu selama masa kekuasaan rezim Soeharto. Civil society berada di luar arena, hanya menonton “perselingkuhan” antara kekuatan politik dan kekuatan bisnis lewat pola hubungan patron-client (lihat Peraga 1). Praktik-praktik pemburuan rente merajalela, hingga mencapai suatu titik yang meruntuhkan daya tahan perekonomian. Kekuatan pasar dibelenggu. Rezim diktator dengan leluasa menguasai sumber daya ekonomi yang kemudian ditransformasikan sebagai kekuatan politik untuk menindas musuh-musuh politiknya untuk melanggengkan kekuasaan.

Di era reformasi, keadaan berbalik ke ektrim baru. Negara seolah-olah lepas tangan. Distribusi kekuatan ekonomi diserahkan ke pasar. Namun, para pelaku ekonomi utama masih belum banyak berubah, yaitu kelompok yang meraup rente di masa Orde Baru. Sebagian mereka menyusup ke partai-partai dan ada juga yang membuat partai baru. Sebagian lagi mencari tumpangan kepada penguasa dan partai berkuasa.
Sementara itu kehadiran negara kian lemah sebagaimana terlihat dari peranan belanja pemerintah yang hanya 9 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Bandingkan dengan Amerika Serikat yang belanja pemerintah federalnya mencapai sekitar 20 persen PDB. Pemerintah tak mampu membangun infrastruktur yang memadai. Proyek-proyek infrastuktur jadi bancakan baru di dalam kerangka public-private partnership. Pihak swasta dijamin penuh memperoleh laba yang relatif tinggi, harga dijamin naik setiap dua tahun. Pengusaha yang dekat dengan kekuasaanlah yang paling banyak menikmati rente ekonomi bentuk baru. Seiring dengan itu, penguasa dan partai-partai memanfaatkan pola hubungan tersebut untuk mengumpulkan logistik. Tak heran jika yang maju pesat adalah sektor-sektor non-tradable, sedangkan sektor tradable tumbuh dengan terantuk-antuk.
Akibat selanjutnya adalah kemerosotan daya saing perekonomian nasional. Dewasa ini Indonesia mengalami defisit dalam perdagangan produk-produk manufaktur, defisit pangan, dan defisit energi. Ketiga defisit ini terjadi pada masa pascareformasi. Lebih parah lagi, dana APBN yang terbatas itu dihambur-hamburkan untuk subsidi bahan bakar minyak yang sebagian besar dinikmati oleh kelas menengah-atas. Politik anggaran seperti itu nyata-nyata merupakan imbas dari lemahnya institusi politik.
Sudah saatnya untuk memperkokoh civil society untuk mengimbangi political community dan business community. Di era kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan pesat media sosial, civil society bisa mengambil peran strategis untuk mengedepankan dan mendesakkan agenda perubahan (lihat Peraga 2). Gerakan civil society baru-baru ini dalam mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti cukup ampuh untuk melawan kesewenang-wenangan Polri dan memaksa Presiden segera turun tangan.
Ke depan, apaknya kekuatan civil society perlu melakukan konsolidasi agar sinergi di antara kekuatan civil society bisa lebih optimal. Kelompok ini memiliki potensi sumber daya manusia dan jaringan yang sangat bisa diandalkan. Kesadaran generasi muda yang mulai tumbuh kembali lewat kelompok-kelompok profesional menjadi kekuatan akselerator yang luar biasa. Mereka menjadi kekuatan-kekuatan mandiri dan independen yang mendambakan masa depan yang lebih pasti di alam persaingan terbuka yang semakin ketat.

Untuk perbaikan jangka panjang, Liddle secara implisit sepakat akan pentingnya pembenahan institusi. Dengan penguatan institusi, kita bisa membayangkan apa yang dipikirkan Liddle tentang distribusi sumber daya politik yang lebih inklusif, sehingga oligarki politik lambat laun bisa dikikis.
Setelah membaca makalah Liddle, saya kian bisa memahami mengapa perjalanan bangsa ini kerap terantuk-antuk. Kita bisa lebih mudah memahami mengapa di satu pihak pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dasawarsa terakhir (2000-2010) tergolong tinggi, bahkan tertinggi nomor tiga di dunia setelah China dan India. Namun, di lain pihak, jika dilihat dari kualitasnya dalam sejumlah aspek justru mengalami pemburukan atau setidaknya belum menunjukkan perbaikan berarti. Salah satu yang mencolok ialah kesenjangan pendapatan yang kian melebar. Sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan indeks gini dari 0,31 pada tahun 1999 menjadi 0,41 pada tahun 2011. Demikian pula dengan porsi pendapatan 20 persen penduduk terkaya yang naik dari 40,6 persen pada tahun 1999 menjadi 48,4 persen pada tahun 2011, sementara itu pada periode yang sama porsi 40 persen penduduk termiskin turun dari 21,7 persen mejadi 16,8 persen. Keadilan terasa makin jauh dari gemerlap pertumbuhan.
Apa artinya pertumbuhan cukup cemerlang jika kelas pekerja terpinggirkan. Bagaimana mungkin akan terbentuk kelas menengah yang kuat jika 55 persen pekerja adalah pekerja informal. Tak berarti bahwa 45 persen sisanya yang di sektor formal telah menikmati kesejahteraan yang memadai, mengingat mayoritas mereka adalah pekerja tetap yang tak dilindungi oleh konrak kerja (lihat peraga 3).
Presiden Soekarno pernah mengatakan: “Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka.” Cita-cita Bung Karno terasa masih jauh. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2012 masih 12 persen dari total penduduk dan penurunannya semakin melambat.

Ada baiknya kita melengkapi tulisan Liddle dengan membaca buku karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson.[1] Menurut Acemoglu dan Robinson, keberhasilan pembangunan ekonomi sangat ditentukan oleh inclusive political institutions, yang mereka definisikan sebagai sistem pluralistik yang melindungi hak-hak individu. Selanjutnya hal ini akan mendorong penguatan institusi ekonomi yang inklusif sehingga bisa menjamin hak milik pribadi dan mendorong kewirausahaan. Pengalaman menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki institusi baik di masa lalu adalah negara-negara yang lebih maju dan sejahtera dewasa ini.
Sudah barang tentu keberhasilan pembangunan tidak bisa dijelaskan oleh satu faktor, single factor, sebagaimana kritik Jeffrey D. Sachs atas pemikiran Acemoglu dan Robinson.[2] Setidaknya banyak akademisi sepakat bahwa faktor institusi ini sangat penting dalam keberhasilan pembangunan. Di sinilah terjadi titik persinggungan antara pemikiran Liddle dengan Acemoglu dan Robinson.
Semoga kita terhindar dari petaka menjadi negara gagal.
Stabilitas politik prasyarat pembangunan ekonomi?