Sisi Lain dari Pak Habibie

Satu komentar

Nun jauh di sini, Edinburgh, saya hanya bisa berdoa semoga segala amal ibadah Pak Habibie diterima Allah SWT. Karyanya untuk Bangsa Indonesia sungguh luar biasa, tak ada tandingannya, mengalir ke segala penjuru, tak lekang oleh waktu.

Pak Habibie tidak berjarak dengan siapa pun. Banyak orang memandang Pak Habibie berseteru dengan Pak Widjojo, sampai-sampai diadu: Habibienomics vs. Widjojonomics. Cara pandang boleh saja berbeda, tetapi kedua sosok ini saling menghormati. Pak Widjojo adalah orang pertama yang selalu didatangi Pak Habibie ketika Iedul Fitri. Masih mengenakan sarung, selepas shalat Ied di Masjid Istiqlal, Pak Habibie langsung mengunjungi Pak Widjojo di kediamannya. Ketika mengantar jenazah Pak Widjojo ke pemakaman, Pak Habibie berada di bus yang sama dengan keluarga Pak Widjojo seraya memberikan wejangan kepada anak-cucu. Kehangatan hubungan keduanya diceritakan kepada saya langsung oleh putri sulung Pak Widjojo, dr. Widjajalaksmi Kusumaningsih. Kisah lengkapnya bisa dibaca dalam buku Widjojo Nitisastro: Panditaning Para Raja, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016.

Saya terakhir berjumpa dengan Pak Habibie di Hamburg beberapa tahun silam pada acara seminar yang digelar oleh PPI Hamburg. Kala itu Pak Habibie kurang sehat, tekanan darahnya sedang tinggi. Namun ia memaksakan diri untuk datang. Darah tingginya seketika menjinak kala berjumpa dengan ratusan mahasiswa, yang amat ia harapkan menjadi generasi emas mewujudkan Indonesia maju. Sekitar dua jam ia memberikan nasihat dan pesan tentang bagaimana membangun Indonesia agar maju. Wajahnya memerah, tatapan matanya menyemburkan bara api, dan suaranya menggelegar dari awal hingga akhir. Selesai memberikan pidato kunci, Pak Habibie tidak langsung pulang, melainkan ikut santap siang bersama. Tak ada tanda-tanda kelelahan pada dirinya. Senyum dan lambayan tangan Pak Habibie mengiringi perpisahan hari itu. Pak Habibie meningglakan kami untuk kembali ke kediamannya di pinggiran kota Hamburg.

Ketika Pak Habibie masih menjabat sebagai Presiden, Mabes Polri melayangkan surat panggilan berisi tuduhan bahwa saya menghina Presiden. Saya memenuhi panggilan. Saya berhadapan dengan seorang polisi berpangkat setara kolonel dan seorang juru ketik.

Untuk memperlancar dan mempercepat proses, saya menawarkan untuk mengetik sendiri jawaban-jawaban yang diajukan. Pak “kolonel” mengizinkan. Tak sampai dua jam semua pertanyaan telah terjawab.

Saya yakin sepenuhnya bukan Presiden Habibie yang melaporkan saya ke Mabes Polri. Kasus tuduhan pengginaan terhadap Presiden tak berlanjut. Tak ada rasa dendam sejumput pun atas kejadian itu.

Selamat jalan Pak Habibie. Generasi emas yang engkau gembleng telah mulai merekah, siap mengantarkan Indonesia ke gerbang kemajuan berkeadilan.

1 comments on “Sisi Lain dari Pak Habibie”

Tinggalkan Balasan ke NETIZEM Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.