
Awal tahun ini Hero Supermarket menutup 26 gerai dan merumahkan 532 karyawannya. Boleh jadi manajemen Hero sedang berbenah, mengubah model bisnisnya sejalan dengan perubahan masyarakat dalam cara berbelanja dan pola konsumsi. Sebelumnya, telah banyak pula department store yang sudah ditutup.
Bukan karena penurunan daya beli masyarakat yang menjadi penyebabnya, karena konsumsi rumahtangga tidak menurun, malahan tumbuh sedikit lebih tinggi pada tahun 2018. Adalah pertumbuhan konsumsi rumahtangga yang menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi.

Pola pertumbuhan konsumsi rumahtangga Indonesia cukup unik, sangat stabil pada aras sekitar 5 persenan. Berbeda dengan negara-negara tetangga yang pertumbuhan konsumsi rumahtangganya sangat berfluktuasi, kadang naik dua digit dan jarang turun di bawah 5 persen.

Salah satu kemungkinan mengapa pertumbuhan konsumsi rumahtangga Indonesia seperti itu adalah karena penduduk Indonesia kebanyakan m berpendapatan rendah dan menengah-bawah. Hal ini tercermin dari masih dominannya konsumsi untuk makanan dan minuman (selain restoran), bahkan masih cenderung naik. Pada 2010 porsinya 38,5 persen, lalu naik menjadi 39,1 persen pada 2018. Sejak 2015 pertumbuhan konsumsi makanan dan minuman (selain restoran) selalu lebih tinggi dari pertumbuhan keseluruhan konsumsi rumahtangga.
Namun, mulai tampak tanda-tanda pergeseran pola konsumsi. Belanja untuk pakaian & alas kaki serta perumahan & perlengkapan rumahtangga tumbuh melambat, relatif jauh di bawah belanja rumahtangga total.
Sebaliknya, pengeluaran untuk restoran & hotel serta transportasi & komunikasi menunjukkan trend peningkatan dan lebih tinggi dari pertumbuhan belanja total. Generasi milenial menjadi penggerak perubahan ini.
Dengan semakin tinggi tingkat pendapatan, lazimnya porsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan juga akan meningkat. Yang terakhir ini belum mewarnai pola konsumsi rumahtangga Indonesia.

Manajemen PT Hero Supermarket Tbk mengaku bisnis ritel penjualan makanan turun hingga 6 persen. Akibatnya, perusahaan menanggung kerugian hingga Rp163 miliar pada kuartal ketiga tahun ini atau lebih dari dua kali lipat kerugian kuartal III 2017, yakni Rp79 miliar. Mungkin itu dikarenakan sejak tiga tahun terakhir memang kondisi ritel secara umum dalam tekanan. Kalau tidak melakukan penutupan 26 toko ini, maka beban operasional akan semakin tinggi dan kerugian akan semakin besar. Juga ada yang mengatakan daya beli masyarakat yang lesu disebut-sebut jadi biang keladi banyak toko menutup lapaknya.