
Hingga kini perdebatan masih terus berlangsung tentang apakah benar daya beli masyarakat mengalami kemerosotan atau setidaknya melemah. Ketika berpidato pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 28 November lalu, Presiden menegaskan kembali bahwa tidak terjadi penurunan daya beli masyarakat. Para menteri ekonomi dan pejabat tinggi lainnya pun berulang kali menyampaikan hal yang sama dengan memaparkan serangkaian data yang meyakinkan. Namun, tetap saja masih berkumandang suara-suara yang mengatakan daya beli masyarakat melemah.
Sejumlah kalangan yang meyakini terjadi penurunan daya beli masyarakat menggunakan beberapa indikator sebagai penguatnya. Pertama, penurunan omzet peritel dan pusat-pusat perbelanjaan.
Kedua, toko yang menjajakan merek-merek terkenal seperti GAP dan H&M serta beberapa peritel modern dengan nama besar seperti Debenhams dan Lotus telah menutup atau berencana akan segera menutup gerainya pada khir tahun ini. Pusat perdagangan elektronik di Glodok senyap. Matahari dan Ramayana juga telah menutup gerainya di beberapa lokasi. Ratusan gerai 7-eleven di seluruh Indonesia serempak ditutup pada akhir Juni lalu.
Ketiga, volume penjualan beberapa jenis produk makanan dan minuman merosot atau mengalami pertumbuhan negatif, seperti yang dialami oleh mie instan dan minuman dalam kemasan.
Keempat, perilaku belanja masyarakat mengalami perubahan. Produk-produk isi ulang dan dengan kemasan lebih kecil atau saset meningkat, yang mengindikasikan tekanan kemampuan belanja masyarakat karena penurunan daya beli.
Sementara itu, data makroekonomi menunjukkan belanja rumahtangga riil (tidak memperhitungkan faktor kenaikan harga) masih mengalami peningkatan sekitar lima persen. Subsektor perdagangan besar dan eceran (termasuk pusat perbelanjaan dan gerai modern lainnya) juga masih menikmati pertumbuhan positif dan bahkan meningkat dari 4,01 persen pada truwulan II-2017 menjadi 5,35 persen pada triwulan III-2017.
Apakah mungkin data di tingkat mikro dan makro tidak sejalan? Ada kemungkinan demikian dalam kasus-kasus tertentu yang sangat unik dan langka. Namun, secara umum kondisi di tingkat mikro dewasa ini sejalan dengan di tingkat makro karena gambaran makro sejatinya merupakan penjumlahan atau agregasi dari tingkat mikro. Jadi, di mana letak ketidaksesuaiannya?
Jika kita menelaah dengan lebih seksama, tak ditemukan ketidaksesuaian antara sisi pandang mikro dan makro. Sisi pandang mikro yang mensinyalir terjadi penurunan daya beli hanya berlandaskan kejadian tertentu—untuk jenis barang tertentu, di outlet tertentu, dan di lokasi tertentu—yang tidak mencerminkan populasi. Benar adanya terjadi penurunan omzet di beberapa pusat perbelanjaan, tetapi tidak sedikit pula pusat perbelanjaan yang menikmati peningkatan omzet. Benar adanya penjualan beberapa produk turun, tetapi jauh lebih banyak produk yang tetap mengalami peningkatan penjualan.
Yang terjadi adalah perubahan pola konsumsi yang antara lain dipicu oleh perubahan perilaku atau gaya hidup masyarakat. Hal ini antara lain terlihat dari pergeseran pola konsumsi dari kelompok non-leisure (makanan dan apparel) ke kelompok leisure (hospitality yang meliputi hotel dan restoran serta rekreasi dan kebudayaan).
Makin banyak kelas menengah yang gemar bepergian atau berlibur untuk sekedar rehat dari kehidupan kota-kota besar yang kians hiruk pikut dan kemacetan lalulintas yang semakin parah. Tidak mengherankan mengapa pertumbuhan penumpang angkutan udara domestik selama Januari-September 2017 tumbuh dua digit (11,36 persen) dibandingkan kurun waktu yang sama tahun lalu; bahkan pada periode yang sama pertumbuhan penumpang angkutan udara internasional lebih tinggi lagi, yaitu 14,47 persen. Penumpang yang menggunakan moda transportasi kapal laut dan kereta api juga meningkat masing-masing 11,14 persen dan 10,52 persen.
Memang ada indikasi pada kelompok berpendapatan menengah dan atas terjadi penurunan alokasi pendapatan untuk konsumsi atau belanja. Namun, bukan disebabkan oleh penurunan daya beli, melainkan oleh pengalihan (switching) ke tabungan. Kelompok ini semakin banyak mengalokasikan pendapatannya untuk ditabung.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat tabungan masyarakat naik cukup signifikan dari 18,6 persen pada triwulan II-2016 menjadi 20,8 persen pada triwulan II-2017. Fakta ini sejalan dengan dana pihak ketiga yang disedot perbankan meningkat tajam sejak Oktober 2016 dan mencapai tingkat tertinggi dalam 24 bulan terakhir sebesar 11,7 persen pada September 2017. Sebaliknya, pertumbuhan kredit cenderung melambat dan sudah 21 bulan berturut-turut hanya tumbuh satu digit. Akibatnya, semakin banyak dana masyarakat yang mengendap di bank sebagaimana ditunjukkan oleh loan-to-deposit ratio yang menurun.
Peningkatan alokasi pendapatan yang ditabung juga ditunjukkan oleh data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Porsi pendapatan yang ditabung menunjukkan peningkatan untuk hampir semua kelompok pendapatan. Gejala yang menarik pula, porsi pembayaran cicilan utang pun naik. Sebaliknya, porsi yang dibelanjakan turun. Perlu kajian lebih mendalam mengapa masyarkat cenderung lebih banyak menabung dan mengapa pembayaran cicilan utang meningkat agar pemerintah dan otoritas keuangan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengubah kecenderungan itu. Boleh jadi faktor-faktor non-ekonomi lebih dominan.
Walaupun secara nasional tidak terjadi penurunan daya beli,[1] boleh jadi kelompok masyarkat tertentu mengalaminya. Ada indikasi kuat kelompok 40 persen penduduk termiskin mengalami penurunan daya beli. Kebanyakn kelompok ini adalah petani, buruh tani, buruh bangunan, dan pekerja informal lainnya. Upah riil buruh tani dan buruh bangunan secara konsisten mengalami penurunan dalam tiga terakhir. Sementara itu nilai tukar petani secara keseluruhan nyaris tidak mengalami perubahan berarti, sedangkan nilai tukar petani pangan—yang jumlahnya terbanyak—menunjukkan penurunan.
Bagaimana dengan kelompok pendapatan 40 persen menengah dan 20 persen teratas? Sejauh ini kedua kelompok pendapatan ini masih menunjukkan peningkatan daya beli. Karena masing-masing kelompok merupakan penyumbang terbesar dalam belanja masional, yaitu 36 persen dan 46 persen, penurunan kelompok 40 persen terbawah yang hanya 17 persen tidak mengakibatkan penurunan belanja nasional.
Ada tanda-tanda penurunan daya beli sebagian dari 40 persen kelompok menengah. Penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA awal tahun ini tentu saja memukul kelompok menengah-bawah yang mencapai sekitar 19 juta pelanggan listrik. Pengeluaran rata-rata kelompok ini untuk pembayaran listrik naik dari Rp 80 ribu per bulan menjadi Rp 170 ribu per bulan. Pembekuan gaji pegawai negeri, prajurit Polri, TNI, dan pensiunan sejak 2016 turut menggerus daya beli kelompok pendapatan menengah-bawah. Pemerintah telah memutuskan pembekuan gaji berlanjut pada tahun 2018.
***
Perubahan lingkungan perekonomian dunia dan nasional sedemikian sangat cepat dan mendasar. Kita harus semakin waspada dan seksama mencermati fenomena baru dengan cara pandang yang baru pula disertai dengan kelengkapan analisis yang lebih mumpuni. Perubahan itu dituntut di segala lini, mulai dari orang seorang, pelaku usaha, organisasi perusahaan, dan pemerintah.
Kita telah memasuki era Revolusi Industri Keempat (Forth Industrial Revolution). Revolusi Industri Pertama menggunakan tenaga air dan uap untuk mekanisasi produksi. Yang kedua menggunakan tenaga listrik untuk menciptakan produksi massal. Revolusi Industri Ketiga menggunakan teknologi informasi dan elektronika untuk otomatisasi produksi. Sekarang di era Revolusi Industri Keempat yang dibangun di atas fondasi Revolusi Industri Ketiga dengan revolusi digital yang telah terjadi sejak pertengahan abad yang lalu yang ditandai oleh perpaduan teknologi yang mengaburkan atau mengkonvergensikan sosok fisik, digital, dan biologis.[2] Internet of things merupakan platformnya.
Kita tidak perlu gentar menghadapi era baru yang kerap juga dijuluki sebagai era digital. Kehadiran robot memang mampu menggantikan ratusan atau ribuan pekerja. Namun, bukankah ummat manusia sudah berulang kali menghadapi perubahan dratis dalam hal otomatisasi? Kadarnya saja yang berbeda.
Kemajuan teknologi merupakan produk dari peningkatan akal budi dan akumulasi kebudayaan untuk memajukan harkat, martabat, dan kesejahteraan ummat manusia di muka bumi. Terbukti ummat manusia bisa menghadapi perubahan dari waktu ke waktu, karena manusia dilengkapi dengan akal budi, perasaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi adalah alat, bukan tujuan akhir. Dalam prosesnya, selalu ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, ada yang berjaya dan ada yang tersisih. Adalah tugas pemerintah dan kemanusiaan lewat serangkaian penguatan institusi untuk melindungi yang tersisih karena tidak cukup memiliki sumber daya dan kemampuan untuk menghadapi perubahan. Negara hadir untuk melindungi yang lemah dan tercampakkan bukan karena kesalahan mereka. Politik hadir untuk menegakkan keadilan, bukan sebaliknya yang kuat memangsa yang papa.
Kemajuan teknologi menghasilkan beragam aktivitas ekonomi baru yang membutuhkan manusia untuk menjalankannya. Tida semua pekerjaan bisa diambil alih oleh robot. Big data yang melimpah ruah bukannya menciptakan kekuatan terpusat pada segelintir orang. Era digital menuntut kolaborasi dan prinsip berbagi. Dengan begitu, potensi pekerjaan yang tercipta akan lebih banyak ketimbang pekerja yang tersisih. Sistem pendidikan dituntut untuk menyiapkan manusia-manusia yang sigap dan cepat beradaptasi dengan tantangan dan tuntutan baru.
Sektor pertanian akan menggeliat dan lebi mampu menyejahterakan petani dengan penerapan teknologi baru dan sistem atau teknologi informasi yang langsung bisa diakses oleh petani. Pasar akan lebih efisien sehingga yang paling banyak mengeluarkan keringat akan lebih banyak menikmati nilai tambah.
Era baru, era digital, menumbuhkan inovasi yang antara lain membuat proses produksi lebih ramah lingkungan. Energi terbarukan akan menggantikan energi fosil. Pekerja tambah akan menyusut drastis dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apakah dengan begitu pengangguran akan meningkat? Sejatinya, tidak. Karena, akan muncul industri panel surya, teknologi yang menghasilkan energi terbarukan lainnya. Kesemua kegiatan baru itu akan lebih murah dalam hitungan beberapa tahun, dan pada gilirannya membutuhkan lebih banyak pekerja dan menumbuhkan lebih banyak enterprenuer baru.
Bersyukurlah hari ini para wisudawan telah menyelesaikan tahapan penting dalam perjalanan hidup Anda. Gelar sarjana yang Anda sandang merupakan bekal berarti dalam mengarugi kehidupan ke hadapan. Sesulit apa pun rintangan yang dihadapi, Anda telah memiliki bekal cukup memadai tetapi tidak akan pernah cukup. Oleh karena itu, ingatlah bahwa pembelajaran itu sepanjang hayat. Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah.
Tataplah masa depan dengan penuh optimisme.
* Naskah dipersiapkan untuk pembekalan acara wisuda STIE Jayakusuma, Hotel Red Top, Jakarta, 14 Desember 2017.
[1] Daya beli (purchasing power) merupakan sekedar istilah, bukan teori. Menurut Oxford Dictionary of Economics, puchasing power adalah “The amount of real goods and services each unit of money will buy. Purchasing power is thus the reciprocal of a suitable price index: if prices go up, the purchasing power of money goes down.”
[2] Klaus Schwab, “The Fourth Industrial Revolution: what it means, how to respond,” World Economic Forum, 14 January 2016. https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/
Saya cemas, karena jumlah populasi yang besar tidak berimbang dengan kualitas. Sehingga saya tidak yakin kita mampu menggunakan otomasi dan tidak disingkirkan otomasi.
Pendidikan vokasi yang disesuaikan dengan kondisi lokal diharapkan bisa membantu sekitar 60 persen pekerja yang hanya tamatan SLTP ke bawah. Pengalaman Jasamarga bisa dijadikan contoh. Penggunakan kartu tol-elektronik tidak menimbulkan PHK sama sekali.
terima kasih Pak. salam
Kehadiran ChatGPT produk dari AI akhir-akhir ini juga sepertinya akan mendistrupsi bentuk perekonomian digital. Sepertinya kita memang harus lebih akrab dan terbuka dengan teknologi-teknologi baru agar tidak kehilangan daya saing.