Memahami perekonomian mirip dengan memahami mekanisme dalam tubuh manusia. Berbeda dengan ilmu kimia dan ilmu eksakta lainnya yang membutuhkan eksperimen di laboratorium, memahami ilmu ekonomi bisa langsung diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
Kelangkaan pasokan suatu barang langsung bisa dideteksi dari kenaikan harga. Jika terjadi kelangkaan kebutuhan pokok yang akut seperti di Venezuela belakangan ini, kita bisa menyaksikan antrean panjang, pasar gelap, bahkan kerusuhan sosial.
Kenaikan harga pangan yang berlangsung cukup lama seperti harga daging sapi dan daging ayam ras di Indonesia menandakan pasokan di pasar tidak bisa memenuhi permintaan. Pemecahan jangka pendek untuk meredam kenaikan harga adalah dengan mengimpor, karena meningkatkan produksi dalam negeri butuh waktu cukup lama. Jika pemerintah bersikukuh tidak membuka keran impor karena mengklaim sudah berhasil mencapai swasembada, niscaya harga tidak akan turun, ceteris paribus. Pemerintah tidak akan mampu melawan hukum alam atau sunnatullah mikroekonomi.
Dalam makroekonomi juga berlaku hukum alam. Tentu saja lebih rumit ketimbang mikroekonomi. Akan sangat membantu pemahaman makroekonomi dengan memahami mekanisme di dalam tubuh manusia.
Perekonomian yang sehat tampak luarnya bisa diketahui dari laju inflasi, suku bunga, dan nilai tukar mata uangnya. Laju inflasi menunjukkan suhu perekonomian yang bisa dianalogikan dengan suhu tubuh. Suku bunga mirip dengan tekanan darah. Jika suku bunga tinggi, investasi akan melorot sehingga laju perekonomian melambat. Mirip dengan seseorang yang mengalami tekanan darah tinggi, membuat kepala pening, badan lemas, dan bisa membuat semaput. Gonjang-ganjing nilai tukar rupiah ibarat detak jantung tidak beraturan sehingga berpotensi mengalami serangan jantung. Sektor keuangan yang lemah bisa diibaratkan detak jantung yang lemah, sehingga mudah mengalami tekanan akibat gejolak eksternal semisal krisis finansial global. Sektor keuangan yang sakit berpotensi menghantam rupiah sangat parah seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Jika inflasi, suku bunga, dan nilai tukar tidak bermasalah, bukan berarti perekonomian sehat luar-dalam, jasmani-rohani. Bisa saja di dalam tubuh ada masalah, misalnya luka di hati, peredaran darah tidak merata ke sekujur tubuh, ada kanker di darah atau di hati, dan sebagainya. Jika perekonomian mengidap kanker, pertumbuhan ekonomi terganggu dan tidak bisa menciptakan lapangan kerja memadai, walaupun ketiga indikator di atas normal.
Bisa juga seseorang sehat jasmani tetapi jiwanya sakit. Perekonomian yang sehat jasmani tercermin dari pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi tidak sehat rohani karena pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ketimpangan memburuk sehingga menciptakan disharmoni sosial. Segelintir penduduk yang makmur tidak bisa tidur nyenyak karena masyarakat sekelilingnya hidup serba kekurangan.

Agar tubuh sehat, asupan makanan harus bermutu, pola hidup juga harus sehat, istirahat teratur, dan jiwa sehat pula. Perenang legendaris Michael Phelps, peraih 23 medali emas olimpiade, 14 di antaranya emas individual, memiliki tubuh yang prima. Ia menjalani latihan keras, hidup disiplin, dan menjaga pola makan. Demikian juga yang dilakoni Osain Bolt, peraih sembilan medali emas olimpiade dan berhasil melakukan triple treble. Hasil gemilang digapai dengan kerja keras. Tidak ada jalan pintas, apalagi kalau kerap ugal-ugalan.
Apakah kedua sosok itu pernah gagal? Ya. Usain Bolt bahkan gagal di babak kualifikasi pada Olimpiade Yunani 2004. Michael Phelps gagal meraih medali emas dalam beberapa lomba. Perekonomian pun begitu. Terkadang tumbuh melambat dan sesekali mengalami krisis. Namun, sepanjang fondasi perekonomian kokoh, krisis yang menerpa tidak akan berlangsung lama, perekonomian memiliki daya tahan sehingga cepat pulih.

Swasembada pangan tidak bisa terwujud dalam jangka pendek. Butuh upaya keras untuk menghasilkan bibit unggul, membangun irigasi sampai saluran tersier, membangun mata-rantai distribusi dan pasar yang efisien, menciptakan jaring-jaring pengaman pasar agar petani terlindungi jika gagal panen atau harga anjlok.
Tidak bisa pakai jurus “pokoknya”. Pokoknya harga daging sapi harus turun jadi Rp 80.000 per kg. Pokoknya harga gas harus turun jadi US$6 per MMBtu per 1 Januari 2016. Pokoknya suku bunga kredit harus turun jadi satu digit per 1 Januari 2017. Kalau dipaksakan, niscaya bakal muncul masalah-masalah baru yang membuat keadaan semakin rumit.
Jika hendak tumbuh lebih cepat dan mewujudkan akselerasi pembangunan, periksa dulu kecukupan darah. Tidak mungkin perekonomian yang mengalami amnesia yang sosoknya pucat-pasi bakal tumbuh tinggi berkelanjutan. Detak jantung (sektor keuangan dan pemerintah) harus normal sehingga berfungsi optimal menyalurkan darah (uang) ke sekujur tubuh (sektor ekonomi).
Bagaimana mungkin jika hanya 36,1 persen penduduk dewasa yang memiliki akses ke perbankan bisa membuat darah yang mengalir di dalam tubuh perekonomian cukup memadai menggairahkan seluruh sendi perekonomian?

Bagaimana mungkin dunia usaha bisa maju kencang kalau kredit yang disalurkan sektor keuangan hanya 40 persen dari produk domestik bruto (PDB)?

Bagaimana mungkin jika jantung perekonomian (sektor keuangan, khususnya dunia perbankan) tercerai berai atau tidak melakukan konsolidasi?

Jantung kedua perekonomian adalah pemerintah, yang berfungsi menyedot darah (dana) dari masyarakat dalam bentuk pajak dan memompakan kembali ke masyarakat dalam bentuk belanja pemerintah. Bagaimana mungkin jantung kedua itu berfungsi optimal jika penerimaan pajak relatif rendah sedangkan pemerintah berkehendak memacu belanja? Solusi menambah utang terbukti mendesak investasi swasta (crowding-out effect). Gencarnya pemerintah berutang membuat pertumbuhan deposito menukik tajam ke aras terendah, dari 26 persen di awal 2015 menjadi hanya 2 persen pada Juni 2016. Bagaimana mau menggenjot belanja infrastruktur kalau menambah utang hanya untuk membayar bunga utang, sebagaimana diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sudah terbukti tekad untuk tumbuh 7 persen rerata setahun selama kurun waktu 2015-2019 sebagaimana tertera di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kandas sejak tahun pertama.

Untuk tumbuh lebih tinggi berkelanjutan, seluruh organ perekonomian harus disehatkan. Bukan dengan mengutik-utik BUMN jadi holding. Bukan dengan swasembada lewat jalan pintas atau menyerap seluruh hasil produksi petani yang entah dengan harga berapa. Bukan dengan menghadirkan IT bahkan Alibaba sekalipun ke desa-desa sementara tidak pernah mengorganisir petani sebagai himpunan yang kokoh menghadapi kaum kapitalis kota.
Bukan pula dengan mengedepankan konsep produk unggulan (champion products) di tengah kancah global supply chain.
Tidak ada jalan pintas, memang. Mindset pembangunan harus berubah.
Ilmu pengetahuan yg sangat bagus untuk memahami kondisi negara saat ini.
Terima kasih
Terima kasih sama-sama.
masih gagal paham saya antara konsoliadasi bank dengan holding BUMN. apakah ini terkait dengan sistem iklim organisasi semut-oriented dan ayam-oriented. kalau semut memperoleh makanan maka ia akan teamwork bahu-membahu mendapatkannya walaupun tubuhnya jauh lebih kecil dari makanan itu. berbeda dengan ayam ketika memperoleh makanan maka siapa yang kuat dialah merasa berhak untuk mendapatkannya, yaitu di cucuk dia yang lebih lemah karena makanan hanya untuk dirinya.
Pak Faisal, Agak melenceng sedikit, Mohon tanggapannya mengenai tren sebagian masyarakat kita yang mulai menolak sistem kredit dengan bunga, dengan sistem perbankan global saat ini yang cukup menggurita dan kompleks, bagaimana solusinya memacu pertumbuhan kegiatan usaha tanpa sistem bunga yang bahkan sistem bagi hasil juga mereka tolak. Buat saya pilihan seperti itu utopia belaka, akan OK dalam skala kecil, namun dalam skala global, ide Nilai uang terhadap waktu yang mendasari sistem bunga akan sangat sulit kita hindari. Emang ada ya orang / lembaga keuangan mau dipinjamin uang secara komersil balikinnya sejumlah modal saja ? Terimakasih.