
Kompas, 27 Juni 2016
Jika rasa keadilan masyarakat terusik, jangan pernah ragu untuk bicara, sebab keadilan harus disuarakan. Demi rasa keadilan juga, jangan pernah mengambil apa pun yang bukan hak kita. Sikap menyuarakan keadilan ini diterapkan Faisal Basri tanpa pandang bulu. Siapa pun yang berbuat tidak adil dan mengusik rasa keadilan akan dilawan.
Itu barangkali yang membuat hubungan saya tidak hangat dengan teman-teman sendiri,” katanya.
Kami berbincang di salah satu ruangan di kantornya, Indonesian Research & Strategic Analysis (IRSA), Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Di tengah perbincangan, ia mengambil komputer jinjing untuk menunjukkan data. Seperti biasa, Faisal yang mengisi waktu senggang dengan membaca menggunakan data untuk mendukung pernyataannya.
Rasa keadilan yang terusik antara lain berupa ketimpangan. Di Indonesia, ketimpangan terlihat nyata dalam penguasaan kekayaan. Sekitar 1 persen keluarga menguasai sekitar 50 persen kekayaan Indonesia. Lebih lanjut, dua pertiga dari kekayaan yang didapat kelompok paling kaya di Indonesia diperoleh dari hasil kroniisme.
Untuk itu, ekonomi politik menjadi sangat relevan. Ilmu tersebut mengajarkan untuk melihat proses ekonomi berlangsung. ”Ekonomi politik menelusuri siapa dapat berapa, siapa rugi berapa. Akan ketahuan, distribusi rente ke mana saja. Alarmnya adalah kebijakan yang aneh,” ujar Faisal.
Ekonomi dan politik tidak terpisahkan. Semua hal di bidang perekonomian berkaitan dengan politik, bahkan sejak kegiatan ekonomi berlangsung. Misalnya, produksi, yang terdiri dari modal dan tenaga kerja.
Sejak awal, masalahnya ada pada pilihan. Contohnya tadi, soal memilih antara mendorong modal atau tenaga kerja. Untuk itu, kemampuan politik menjadi sangat menentukan. Pada saat sumber daya terbatas, politiklah yang memobilisasi.
Faisal kerap melayangkan kritik pedas atas kebijakan pemerintah. Terkait penerimaan negara, misalnya, kritikan terkait target penerimaan pajak 2016 yang naik 30 persen dibandingkan dengan 2015. Hal ini, menurut Faisal, tidak masuk akal. Disoroti juga soal rasio pajak, yakni rasio penerimaan pajak terhadap kemampuan ekonomi yang bisa dikenai pajak.
Rasio dan target penerimaan pajak mestinya bisa diperhitungkan sejak awal, menggunakan sejarah data. Data menunjukkan, sekitar 54 persen pekerja Indonesia adalah pekerja informal yang hampir pasti tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, ada sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan, yang kira-kira sekitar 30 persen, yang juga tidak bisa dikenai pajak.
Jika ingin meningkatkan basis pajak, kuncinya adalah industrialisasi. Tidak ada satu pun industri yang tidak memiliki NPWP karena tidak ada satu pun industri yang upah pekerjanya tidak dibayar.
Maka, jalan tengahnya, pemerintah bisa memformalisasi sektor informal serta mentransformasi sektor informal ke industri. Melalui industrialisasi dan formalisasi, pemerintah bisa menjadikan sektor non-industri dan informal menjadi entitas ekonomi yang sehat. Baru setelah itu dapat dikenai pajak.
Menurut perhitungan Faisal, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5 persen, inflasi 5 persen, ditambah kerja keras yang menopang 5 persen pertumbuhan penerimaan pajak, maka penerimaan pajak 2016 maksimal hanya bisa meningkat 15 persen.
Data
Keberanian ayah tiga anak ini untuk mengkritik kebijakan pemerintah, sambil tak lupa memberi saran, tak lepas dari olahan data yang selalu menjadi pegangan. Pada lamannya, faisalbasri.com, misalnya, Faisal menampilkan tulisan berjudul ”Menyikapi Perubahan Peta Perminyakan Dunia” pada 9 Juni 2016. Dalam tulisan itu, Faisal mengingatkan dampak dari harga minyak yang turun, sekaligus menyarankan langkah apa saja yang bisa dilakukan Indonesia.
Data merupakan kekuatan tersendiri. Faisal yang pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta ini lantas terkenang pengalamannya saat menjadi asisten Profesor Arsyad Anwar.
”Saya bertahun-tahun jadi asisten Pak Arsyad Anwar, raja data. Saya diajari cara membaca data, mencari di balik data ada data lagi, dan sebagainya. Saya diajari mencari akar masalah,” kisah Faisal.
Namun, Faisal mengakui dengan rendah hati, bukan hanya dia yang selalu menggunakan data dalam setiap paparan. Hampir semua jebolan LPEM UI memiliki kebiasaan sama, yakni selalu memaparkan data.
Ia lantas menyebut nama Anton Gunawan (saat ini Kepala Ekonom Bank Mandiri), Sri Mulyani Indrawati (mantan Menteri Keuangan, saat ini menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia), Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan).
Dalam pandangan Faisal, kerangka teori merupakan bentuk normatif suatu pendapat atau pernyataan. Oleh karena itu, harus diperkuat dengan data sebagai bentuk empiris.
”Data tidak pernah berbohong. Kalau manusia bisa bohong, data tidak. Data tidak punya partai, data tidak punya kepentingan, data tidak akan menggapai sesuatu,” ujar Faisal, menjelaskan kekuatan data.
Penggunaan data juga diterapkan dalam penelitian tentang kelas menengah di Indonesia. Bersama Gatot Arya Putra, Faisal meneliti tentang perangkap kelas menengah. Penelitian yang dipresentasikan dalam Forum Regional di Bangkok, Thailand, itu menggunakan data tahun 1870-2011.
Dari data pada periode tersebut diketahui, pengalaman negara-negara di dunia membentuk pola. Ada negara yang berhasil keluar dari perangkap kelas menengah, tetapi ada yang tidak berhasil. Negara yang berhasil keluar dari perangkap kelas menengah naik menjadi negara berpendapatan tinggi.
Sebaliknya, negara yang gagal akan terus-menerus ada di kelompok negara dengan pendapatan menengah. Ada juga negara dengan pendapatan menengah berhasil naik menjadi negara dengan pendapatan tinggi, tetapi kemudian turun lagi.
Menurut penelitian itu juga, ada dua titik krusial dalam perjalanan negara-negara yang sudah diobservasi. Faktor pertama adalah pendidikan dasar dan menengah, setidaknya hingga tingkat sekolah menengah atas (SMA). Faktor kedua adalah peranan barang yang dibuat menggunakan teknologi terhadap total ekspor.
”Untuk pendidikan, Indonesia masih wajib belajar sembilan tahun, belum 12 tahun. Untuk barang berteknologi, di Indonesia tidak terus naik, malah turun,” ujar Faisal.
Perhitungan juga didasarkan pada produk domestik bruto (PDB) per kapita yang menggunakan acuan PDB per kapita Amerika Serikat. Dari berbagai data tersebut diketahui, jika Indonesia ingin masuk ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi dalam 30 tahun mendatang, kemungkinannya sekitar 18 persen. Dengan angka probabilitas rendah, Indonesia bisa terkena jebakan kelas menengah.
Politik
Pada 2012, Faisal Basri mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta, menggandeng Biem Benyamin sebagai wakil gubernur. Dalam surat suara Pilkada DKI Jakarta, pasangan dari jalur independen ini mendapatkan nomor urut 5 dengan dukungan 487.150 jiwa.
Langkah Faisal-Biem merupakan upaya mengurangi dominasi partai. Dengan keberadaan calon independen, partai pun sibuk mencari dan memunculkan calon terbaik. ”Jadi, kita semua berhasil meningkatkan keseimbangan di pasar politik dengan memunculkan orang-orang terbaik. Rakyat jadi punya banyak pilihan,” ujarnya.
Upaya itu memberi pelajaran, ternyata gerakan masyarakat sipil juga bisa menjadi penyeimbang parpol.
Lahir:
Bandung, 6 November 1959
Pendidikan:
Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1985
Master of Arts (MA) dalam bidang Ekonomi, Vanderbilt University, Amerika Serikat, 1988
Pekerjaan:
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sejak 1981. Menjadi pegawai negeri sipil sejak tahun 1987 dan pada November 2012 mengajukan pensiun dini
Dosen Program Magister Manajemen Universitas Tanjungpura, Pontianak, sejak 2003
Chief of Advisory Board, Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA), sejak 2007
Penghargaan:
Lifetime Achievement 2015
Penghargaan People of The Year 2012
Penghargaan Agung (FEUI Award) dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Penghargaan Pejuang Anti Korupsi 2003
Dosen Teladan III Universitas Indonesia, 1996
(DEWI INDRIASTUTI)
Diunduh dari: http://print.kompas.com/baca/2016/06/27/FAISAL-BASRIRasa-Keadilan-yang-Terusik
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul “Rasa Keadilan yang Terusik”.
1 comments on “Rasa Keadilan yang Terusik”