Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam Widjajalaksmi Kusumaningsih, Widjojo Nitisastro: Panditaning Para Raja. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016, hal. 240-242.
***
Pertama kali berdialog panjang dengan Prof. Widjojo kalau tak salah ingat terjadi tahun 1999 di restoran Itali Ambiente, Hotel Aryaduta, Jakarta. Prof. Widjojo ditemani oleh Prof. Ali Wardhana. Kedua guru besar FEUI itu mengundang DR Sri Mulyani Indrawati dan saya berdialog sambil santap siang. Menurut Prof. Ali, Ambiente adalah restoran favorit Prof. Widjojo.
Kesempatan berikutnya bertemu dan berdiskusi dengan Prof. Widjojo berlangsung beberapa kali ketika kami menjadi anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden tahun 2000. Presiden Abdurrahman Wahid menunjuk Prof. Widjojo, Bapak Alim Markus (pemilik Maspion Group), DR Sri Mulyani, dan saya sebagai anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden. Keberadaan tim ini sangat singkat, hanya sekitar enam bulan.
Selebihnya, pertemuan dengan Prof. Widjojo terjadi pada acara-acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI. Kebetulan, Prof. Widjojo, DR Sri Mulyani, dan saya sama-sama mantan kepala LPEM. Prof. Widjojo kepala yang kedua (1955-1957) setelah Prof. Sumitro Djojohadikusumo (1953-1955), DR Sri Mulyani yang ke-14 (1998-2001), dan saya yang ke-12 (1993-1995). Di kampus, kami bisa dikatakan cucu Prof. Widjojo.
DR Sri Mulyani menapaki jejak-jejak kiprah Prof. Widjojo lebih panjang. Selain sebagai kepala LPEM, DR Sri Mulyani pernah menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas dan Menko Perekonomian. Jabatan Menko Perekonomian ia rangkap ketika menjadi Menteri Keuangan, jabatan yang tidak pernah disandang “Sang kakek”.
Para senior, termasuk Prof. Widjojo, tentu sangat bangga atas kehadiran cucu yang berbinar-binar dan sempat bercengkerama dengannya. Bahkan sempat juga menyaksikan cucunya menapaki posisi orang nomor dua di Bank Dunia.
DR Sri Mulyani tentu bahagia sempat mengecap ilmu dan pengalaman dari senior-seniornya yang puluhan tahun menakhodai pembangunan ekonomi Indonesia. Pembelajaran itu tidak ada di buku teks atau di bangku kuliah, terutama tentang kearifan, integritas, dedikasi, visi, dan nasionalisme.
Banyak orang menjuluki Prof. Widjojo sebagai godfather Mafia Berkeley dan DR Sri Mulyani serta tamatan FEUI pada umumnya, termasuk saya, sebagai penganut Neolib(eralisme). Ketika kasus Bank Century merebak dan naik ke panggung politik, poster dan spanduk yang dibentangkan oleh segelintir pendemo hampir setiap hari berkeliling di jalan protokol dan di tempat-tempat DR Sri Mulyani berada. Sosok DR Sri Mulyani digambarkan dengan taring drakula. Tidak ketinggalan celotehan di media sosial yang bernada menghujat.
Kalau benar neolib, sudah barang tentu Prof. Widjojo tidak berkiprah sangat lama di Bappenas, menyusun perencanaan pembangunan jangka panjang dan Repelita. Serahkan saja mekanisme ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar. Tidak pula akan menganut sistem nilai tukar tetap, tidak mematok suku bunga Tabanas dan Taska sama untuk semua bank, tidak akan ada kredit program, tidak pula melakukan intervensi terhadap harga BBM dan beras. Kalau neolib, semua BUMN akan diprivatisasi dan tidak ada Bulog. Kenyataannya, privatisasi pertama terjadi pada masa akhir Soeharto tatkala Prof Widjojo tidak lagi di dalam pemerintahan dan menjadi komandan tim ekonomi.
DR Sri Mulyani pun tidak tergolong sebagai free market fundamentalist. Teramat banyak buktinya. Ia percaya akan betapa pentingnya intervensi pemerintah mengatasi kegagalan pasar dan di pasar tenaga kerja. Kalau ia neolib seperti dituduhkan sementara kalangan, penghapusan subsidi BBM sudah ia sorongkan kepada Presiden. Lagi pula, mana ada negara neolib di muka bumi ini. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat sekalipun banyak campur tangan dalam perekonomian. Tak ada negara kapitalis tulen dan tak ada negara sosialis tulen lagi di muka bumi ini. Pelabelan neolib lebih bernuansa politis dan cenderung untuk menyudutkan.
Skandal Bank Century, tak pelak lagi, merupakan batu ujian sangat berat bagi DR Sri Mulyani dan amat pahit dalam perjalanan karirnya. Di tengah kontroversi Bank Century, Ibunda DR Sri Mulyani wafat. Ia terbang sebentar ke Semarang mengantarkan Ibunda tercinta ke pemakaman, lalu bergegas kembali ke Jakarta.
Di bawah kendalinyalah Indonesia berhasil menepis ancaman krisis sebagai akibat krisis finansial global yang dipicu oleh letusan subprime mortgage di Amerika Serikat. Walhasil, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari tiga negara yang pada tahun 1999 perekonomiannya tumbuh positif di tengah resesi dunia, bahkan bisa mencapai 4,6 persen. Dua negara lainnya adalah Tiongkok dan India.
Politisasi kasus Bank Century banyak menyita pikiran dan perasaannya. Ia tak gentar menghadapi deraan politik. Pansus Bank Century yang dibentuk DPR ia hadapi dengan tenang, nyaris tanpa emosi—mirip dengan gaya Prof. Widjojo.
Kembali ke pertemuan pertama kami. Prof. Ali Wardhana menceritakan betapa getirnya mengatasi krisis ekonomi di masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Betapa sakitnya harus melaksanakan resep International Monetary Fund (IMF) yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Prof. Widjojo dan Prof. Ali merupakan tokoh kunci yang berhasil melalui tahapan pemulihan sampai Indonesia terbebas dari cengkeraman IMF. “Jangan sampai pengalaman pahit itu terulang, ujar Prof. Ali kepada kami. Keduanya pula yang berjibaku mengatasi krisis utang Pertamina yang menguras cadangan devisa negara.
Ternyata sejarah menorehkan krisis yang lebih dalam. Krisis yang melanda Indonesia tahun 1998 amat parah, jauh lebih buruk ketimbang menjelang kehancuran rezim Orde Lama. Kala itu, pertumbuhan hanya mengalami kontraksi 2,3 persen, sedangkan kontraksi tahun 1998 jauh lebih dalam yaitu 13,1 persen.
Sewaktu krisis 1998, Prof. Widjojo sudah tidak di dalam pemerintahan. Sudah cukup lama Prof Widjojo dan Prof. Ali tidak terlibat langsung dalam pengelolaan ekonomi negara. Sejak 1993 ia tak lagi berkantor di Bappenas. Selama puluhan tahun ia berkantor di ruangan yang sama, menjadi bukti dedikasi dan sumbangsihnya dalam pembangunan di Indonesia. Ketika perekonomian Indonesia terjerembab ke jurang terdalam, akhirnya Presiden Soeharto meminta kembali Prof. Widjojo berjibaku mengatasi krisis dengan mengepalai suatu tim yang dibentuk oleh Presiden.
Sedangkan DR Sri Mulyani belum berkiprah langsung di pemerintahan. Pada waktu itu, DR Sri Mulyani menjabat sebagai Kepala LPEM FEUI. Seraya melakukan pembenahan dan reposisi LPEM, DR Sri Mulyani kerap diminta bantuan secara pribadi maupun kelembagaan. Kementerian Keuangan termasuk yang paling banyak ia bantu. LPEM juga kerap dimintai bantuan melakukan kajian terkait dengan krisis oleh lembaga-lembaga internasional.
Sebelumnya, sebagai Wakil Kepala LPEM yang membidangi pendidikan dan latihan (1991-1993), DR Sri Mulyani merupakan salah satu motor utama yang merancang kurikulum berbagai jenis pelatihan bagi staf daerah untuk mempersiapkan mereka menyongsong era otonomi daerah. Tidak hanya sebatas itu. Pada awal tahun 2000-an, DR Sri Mulyani sempat “bertapa” di Amerika Serikat menjadi “ibu” bagi para aparat daerah dan dosen muda yang memperoleh beasiswa mendalami pembangunan daerah di Universitas Georgia (2001-2002). Tanpa jeda pulang ke tanah air, beberapa waktu kemudian ia ditunjuk menjadi direktur eksekutif IMF mewakili belasan negara Asia (2002-2004). Selama menjabat di IMF, keteguhannya memperjuangkan kepentingan negara berkembang dan sikap tegasnya menghadapi kepentingan negara maju akan selalu dikenang oleh kolega-koleganya dari negara tetangga yang ia wakili.
Adalah Prof. Widjojo pula yang sangat peduli terhadap penguatan daerah dalam pembangunan Indonesia. Jauh sebelum era otonomi daerah berkibar, Prof. Widjojo berinisiatif mendidikan Program Perencanaan Nasional (PPN) pada tahun 1970-an. Banyak dosen muda dikirim ke luar negeri mendalami ilmu perencanaan dan keuangan daerah. Merekalah yang menjadi tenaga pengajar inti berbagai kursus yang sebagian besar pesertanya berasal dari daerah. Prof. Widjojo seakan memiliki indera keenam, bisa membaca tanda-tanda keniscayaan bahwa era otonomi daerah bakal tiba.
Jika Prof. Widjojo dengan kredibilitasnya yang teruji kembali menjadi kunci penangaman krisis 1998, DR Sri Mulyani terlibat aktif merumuskan penanganan pascakrisis sebagai Sekretaris Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang berkantor di Istana dan merangkap sebagai anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden.
Kiprah DR Sri Mulyani telah melampuai batas-batas negara. Walaupun berdomisili di ibukota Amerika Serikat, di kantor pusat Bank Dunia, menjadi orang nomor dua di sana, kecintaan dan kepeduliannya pada Tanah Air tidak pernah lekang. Ia lahir dan dibesarkan oleh keluarga nasionalis tulen. Berbeda zaman berbeda kiprah. Prof. Widjojo sedari remaja berjuang langsung bagi kemerdekaan negerinya, lalu menjadi dosen dan peneliti, meletakkan landasan pembangunan, dan tetap menyingsingkan lengan baju tatkala negaranya mengalami beberapa kali krisis.
Prof. Widjojo telah meninggalkan kita. Tetapi pemikiran dan karyanya sudah melekat dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Suri tauladannya menjadi panutan, semangat dan dedikasinya mengalir ke “anak-cucu”. DR Sri Mulyani adalah sosok yang paling menonjol di antara “anak-cucu” Prof. Widjojo. Keduanya sosok istimewa dengan perbedaan karakter dan pembawaan masing-masing. Keduanya menjadi penerang di lokasi dan waktu yang berbeda.
Begitulah benang merah kakek-cucu, Prof. Widjojo dan DR. Sri Mulyani. Pada waktunya nanti, “srikandi” akan kembali, bahu membahu dengan generasi baru cemerlang memajukan Ibu Pertiwi, mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah pergaulan mondial, menakhodai bahtera laju.
Di antara bintang tak berbilang
Dua bercahaya cemerlang
Di siang hari ia menjauh sejenak
Berjanji menerangi kembali
Ketika mentari undur diri
Bergantian ….
Membentangkan asa
Selalu ….