Dunia perminyakan telah memasuki babak baru. Porsi minyak bumi dalam penyediaan energi turun dan akan terus turun lebih cepat, digantikan oleh gas dan energi terbarukan terutama energi surya.
Secara geografis, peranan Timur Tengah sebagai pemasok energi akan mengalami penurunan sejalan dengan peningkatan peranan Amerika Utara. Di Timur Tengah, supremasi Saudi Arabia melemah sejalan dengan kembalinya minyak Iran ke pasar minyak dunia pasca kesepakatan nuklir negara itu dengan negara anggota permanen Dewan Keamanan PBB plus Jerman (P5+1).
Tekad masyarakat dunia untuk mengurangi kerusakan lingkungan dengan mengurangi konsumsi energi berbasil fosil akan terus menekan porsi konsumsi minyak. Ditambah dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat yang memungkinkan penggunaan energi terbarukan semakin efisien dan kompetitif sekalipun harga minyak relatif rendah, mau tidak mau memaksa perubahan model bisnis minyak.
Perubahan mendasar dari sisi produksi dan konsumsi energi dunia berdampak terhadap pergerakan harga. Harga rerata Brent, West Texas Intermediate (WTI) dan Dubai Fateh—yang dijadikan acuan harga minyak dunia—pada April 2016 melonjak 36,8 persen dibandingkan posisi Januari 2016. Peningkatan harga terus berlanjut hingga pertengahan Mei. Namun, kebanyakan kalangan perminyakan meyakini harga minyak tidak akan kembali meroket. Harga rerata April 2016 sebesar 40,8 dollar AS per barrel tidak sampai separuh dari harga tertinggi tahun 2014 sebesar 108,37 dollar AS, bahkan tidak sampai sepertiga dari rekor harga tertinggi 132,8 dollar AS per barrel pada Juli 2008.
Indonesia hanya memiliki cadangan minyak terbukti sebesar 3,7 miliar barrel atau 0,2 persen dari cadangan minyak dunia. Dengan tingkat produksi sekarang dan tanpa penemuan cadangan baru, dalam waktu tak sampai 12 tahun cadangan minyak Indonesia akan habis.
Yang hanya bisa dilakukan Indonesia adalah mengoptimalkan cadangan minyak yang ada seraya mengakselerasikan penemuan cadangan minyak baru agar sebesar mungkin mengimbagi peningkatan konsumsi sehingga bisa menekan impor yang dewasa ini mencapai sekitar 800.000 barrel per hari.
Di tengah persaingan yang semakin ketat dengan negara produsen minyak besar yang mengobral berbagai macam insentif, terutama dari negara yang ongkos produksinya relatif rendah, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk mempertahankan sistem insentif yang berlaku dewasa ini.
Memaksimumkan penerimaan negara dari sektor migas sepatutnya bukan menjadi pertimbangn utama. Melainkan, bagaimana memaksimumkan sumbangsih sektor migas bagi perekonomisan nasional. Sektor migas jangan sampai menggerogoti devisa negara. Pembangunan kilang terpadu harus dipercepat agar meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian dan memacu industrilisasi. Puluhan miliar dollar AS bisa dihemat jika semakin banyak minyak mentah dan gas yang diolah di dalam negeri untuk menghasilkan bahan bakar dan berbagai produk petrokimia yang merupakan “ibu” industri manufaktur.
Pendekatan menekan cost recovery tidak bisa menggunakan kriteria yang kaku mengingat karakteristik ladang migas yang sangat beragam dan dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Harus disadari bahwa kriteria multi-objectives yang dalam sejumlah kasus saling bertolak belakang semakin mustahil untuk diterapkan. Pemerintah harus fokus pada satu atau dua obyektif, apalagi mengingat banyak kendala (constraints) praktis tidak berkurang. Kalau hendak menggunakan obyektif tunggal, memaksimumkan maslahat bagi perekonomian nasional menjadi pilihan paling logis.
Susunlah kriteria yang terukur, transparan, dan kredibel. Transformasikan kerangka institusional, dari extractive institutions menjadi inclusive institutions, agar kekayaan sumber daya alam dinikmati oleh rakyat banyak, tidak lagi menjadi ajang pemburuan rente segelintir elit pengusaha yang erat bergandengan tangan dengan penguasa.
Bagaimanapun pengusahaan migas merupakan kegiatan padat modal dan padat teknologi yang berisiko tinggi. Kepastian hukum menjadi prasyarat penting. Bagaimana mungkin kepastian usaha hadir jika aturan yang mendasari usaha migas tidak berbentuk nyata, hanya berupa lisan seperti yang terjadi pada proyek Masela.
Indonesia pun berpacu dengan waktu untuk mewujudkan kemanan energi. Semakin mendesak meningkatkan cadangan operasional dan cadangan stategis di tengah perubahan geopolitik yang berpotensi menimbulkan gejolak dan konflik di berbagai kawasan. Bersamaan dengan itu, pilihan yang paling logis adalah mendorong penggunaan energi terbarukan untuk meningkatkan kemandirian energi. Oleh karena itu, perubahan sistem insentif tidak hanya terbatas pada energi fosil tetapi juga mencakup sumber energi primer yang terbarukan.
Perlu dicamkan bahwa penundaan atau pengambilan keputusan yang betele-tele menimbulkan ongkos sangat besar. Banyak kesempatan hilang percuma. Tak terbilang kerugian negara yang ditimbulkannya.
Tanpa perubahan mendasar segera, kekayaan migas yang menipis bukannya membawa berkah melainkan memperpanjang kutukan.
***
Setuju kang Faisal, energy fossil yg masih tersisa di bumi ini mmg harus sebesar mungkin mendatangkan manfaat ke arah produktifitas ekonomi yang makin tinggi dan lebih pesat, perlu untuk meningkatkan devisa Negara ini secara cepat dan signifikan.. Saat ini, kenyataannya nilai Rupiah secara statistik masih terus melemah..
Selain mengoptimalkan kemaslahatan bagi ekonomi bangsa ,industri migas secara bertahap harus ditekan efek penggunaannya dengan merubah pola pandang masyarakat yang makin konsumtif.,misalnya mengendalikan angka pemilikan kendaraan bermotor dan untuk proyek proyek yang padat “pemakaian bahan bakar” Lewat undang undang walau berdampak proyek menjadi beranggaran “Multi Year”.Intinya Rubah Cara Pandang.