Indonesia masuk menjadi anggota OPEC pada tahun 1962, dua tahun setelah didirikan di Baghdad oleh Iran, Iraq, Kuwait, Saudi Arabia and Venezuela. OPEC (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) merupakan organisasi permanen antarnegara. Lima tahun pertama OPEC bermarkas di Geneva, Switzerland dan sejak 1 September 1965 berpindah ke Vienna, Austria. Indonesia keluar dari OPEC sejak Januari 2009 karena sudah menjadi Negara pengimpor netto minyak yang cukup besar.
Sebagai kumpulan negara produsen dan pengekspor minyak, sudah barang tentu OPEC berkepentingan lebih menjaga harga minyak stabil di tingkat yang tinggi. OPEC kerap berperan sebagai “swing producer” dengan mengatur volume produksi. Organisasi ini secara berkala berunding menetapkan kuota ekspor untuk menjaga kestabilan harga.
Belakangan ini memang OPEC cenderung membiarkan harga minyak merosot dengan tidak memotong produksi dan ekspor agar pangsanya di pasar dunia tidak tergerus akibat peningkatan produksi minyak serpih (shale oil) yang terus menerus. Jika OPEC memotong produksi, yang diuntungkan adalah prodesen shale oil.
Karakter dasar OPEC adalah ingin harga tinggi. Karena Indonesia sudah menjadi importir netto yang cukup besar dan akan semakin banyak mengimpor sedangkan produksi bakal turun terus, Indonesia lebih diuntungkan kalau harga minyak rendah.
Jadi, buat apa Indonesia mendekat ke OPEC walau hanya sebagai peninjau (observer)? Kalau tujuannya mendekat ke OPEC untuk memperoleh informasi dari dalam OPEC, informasi apa yang hendak didapat? Market intelligence? Kedekatan dengan negara anggota agar lebih mudah memperoleh akses minyak mentah? Mengapa negara lain yang juga pengimpor netto dan bahkan pengekpor netto seperti Rusia dan Norwegia tidak ikut bergabung?
Bagi Indonesia yang merupakan konsumen besar mutlak harus punya market intelligence sendiri mengingat dunia minyak sangat rumit dan terkait dengan keamanan dan kedaulatan negara. Minyak sangat strategis dalam konstelasi geopolitik gobal dan regional.
Alasan mempermudah akses minyak sangat lemah. Transaksi minyak pada dasarkan murni bisnis, tidak terkait dengan solidaritas berdasarkan ideology atau agama, kecuali dalam kasus Venezuela. Indonesia bisa membuka akses untuk kontrak jangka panjang lewat pendekatan bilateral.
Alasan-alasan lain tampaknya juga lemah.

Peraga di atas menunjukkan Indonesia tidak setara dengan 12 negara anggota OPEC, baik dalam hal jumlah cadangan maupun produksi minyak. Indonesia hanya unggul dalam hal produksi minyak dibandingkan dengan Equador, tapi untuk produksi per kapita Equador nyaris 10 kali lebih besar dari Indonesia.
Indonesia bakal aneh di forum OPEC–tidak akan nyambung.
harusnya kita juga bisa jadi pelaku.. bukan begitu mas?
Ya, bukannya pasrah semata
sudah bosan kita jadi penonton mulu, kapan kita jadi pemainnya? -_-
Betul. Bagusnya sebagai konsumen besar kita juga bisa ikut aktif menentukan harga.
Bang, setau saya sudah ada IEA sebagai corong organisasi konsumen (importir) minyak yang dibentuk untuk ‘melawan’ OPEC, tapi sayangnya karena presentase konsumsi minyak anggota IEA semakin menurun (saat ini hanya sekitar 50%), sementara presentase negara non-IEA semakin besar (China dan India), posisi IEA semakin samar.
apakah indonesia harus bergabung dgn IEA?
nampaknya tidak efektif juga, belum lagi syarat menjadi anggota yang cukup sulit…
saya cenderung sepakat tetap masuk di OPEC, toh ada atau tidak adanya indonesia di OPEC, harga pasti akan terus ‘dimainkan’ OPEC, tapi Indonesia mendapat beberapa keuntungan dgn kembali bergabung disana: akses minyak mentah utk kilang salah satunya.
bagaimana bang?
(Denny, ITB)