“Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang.” (Ir. Soekarno disampaikan pada forum National Maritime Convention I (NMC), 1963)
Dengan gugusan 17.000 pulau lebih dan hamparan lautan yang sekitar dua kali lebih luas dari daratan, Indonesia sungguh merupakan negara yang sangat unik. Berbeda dengan kebanyakan negara yang menyebut kesatuan wilayahnya dengan motherland atau fatherland, bangsa Indonesia menggunakan sebutan tanah air sebagai konsep yang melingkupi seluruh bumi Indonesia sebagai suatu kesatuan kedaulatan atas lautan, daratan, dan udara.
Keunikan geografis yang melekat pada Indonesia sejatinya merupakan modal sangat berharga untuk menapaki perjalanan bangsa ini dan bisa menjadi sumber keunggulan untuk menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, sepatutnya visi maritim menjadi acuan dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi.
Salah satu pemicu globalisasi adalah revolusi di bidang transportasi laut yang memungkinkan ongkos angkut barang menjadi murah, sehingga disparitas harga antarnegara semakin kecil. Sayangnya perekonomian domestik Indonesia tak mengikuti kecederungan dunia yang semakin terintegrasi. Perekonomian Indonesia masih saja jauh dari terintegrasi. Hal ini terlihat dari disparitas harga yang relatif tinggi antardaerah. Selain itu, daerah-daerah yang tingkat harga-harga barangnya relatif tinggi juga mengalami laju inflasi yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan laju inflasi nasional.
Garis pantai Indonesia sepanjang 54.716 km merupakan yang terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Sebagian besar pelayaran utama dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur strategis yang berada di wilayah laut Indonesia. Jika dunia telah memanfaatkan jalur pelayaran Indonesia, tidak demikiam dengan kita sendiri. Ongkos pengiriman dengan kapal laut (shipping cost) di dalam wilayah Indonesia lebih mahal ketimbang ongkos pengiriman barang dari Jakarta ke berbagai negara. Sebagai contoh, dari Jakarta ke Surabaya sebesar 350 dollar AS, dari Jakarta ke Medan sebesar 400 dollar AS, dan dari Jakarta ke Sorong sebesar 2.000 dollar AS. Sedangkan dari Jakarta ke Singapura sebesar hanya sebesar 200 dollar AS. Ongkos pengiriman barang dari Jakarta ke Padang pun lebih mahal ketimbang dari Jakarta ke Hamburg.

Kenyataan inilah yang membuat jarak ekonomi intra-Indonesia lebih jauh ketimbang jarak geografisnya. Misalnya, jarak ekonomi Jakarta-Padang sekitar dua kali lebih jauh dari jarak ekonomi Jakarta-Singapura.
Sebagai negara yang memiliki keberagaman sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk saling mempertukarkan keunikan masing-masing daerah dan bersinergi dalam proses produksi untuk menghasilkan nilai tambah yang optimal.
Dengan penguatan sistem transportasi laut, pergerakan barang di dalam wilayah Indonesia akan lebih lancar dan murah. Jika kita memiliki sistem transportasi laut yang tangguh, niscaya jeruk dari Brastagi di Sumatera Utara akan mampu bersaing dengan jeruk mandarin dari China. Namun, sejauh ini jeruk dari Brastagi mengandalkan transportasi darat dengan truk, yang niscaya akan kalau bersaing dengan jeruk mandarin yang diangkut ke Jakarta dengan kapal laut dan fasilitas container pengatur suhu.
Akibat ongkos angkutan laut yang mahal di dalam negeri menyebabkan perbedaan harga buah-buahan di sentra produksi dan di sentra konsumen berlipat ganda. Jika diangkut dengan kapal laut, disparitas harga ini akan semakin mengecil, sehingga menaikkan harga di tingkat petani dan menurunkan harga di tingkat konsumen. Karena transportasi laut yang lemah inilah menyebabkan banyak sekali hasil bumi di berbagai daerah menjadi cenderung sebagai barang non-tradable (tak bisa diperdagangkan ke luar daerah), sehingga harga anjlok ketika musim panen raya. Sementara itu konsumen di pulau Jawa mengimpor buah-buahan dari berbagai negara.
Topangan sistem transportasi laut yang tangguh akan memunculkan sentra-sentra industri pengolahan yang lebih tersebar, tak terkonsentrasi di Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Ongkos buruh yang semakin mahal akan mendorong kegiatan industri mendekati sumber bahan baku, mengingat ongkos angkut produk jadinya ke sentra-sentra konsumen di kota-kota besar di Jawa bisa ditekan.
Penguatan sistem transportasi lautlah yang memungkinkan pengintegrasian pasar domestik. Bagaimana mungkin kita bisa secara maksimal bisa menikmati peningkatan kesejahteraan dengan makin terlibat lebih jauh dalam kancah globalisasi dan integrasi internasional kalau pasar domestik kita sendiri tidak terintegrasi
Manfaat selanjutnya, tenaga kerja tak menyemut di kawasan-kawasan industri yang kian padat di Jawa, dan pusat-pusat pertumbuhan baru akan muncul secara alamiah, tanpa membentuk koridor-koridor pembangunan sebagaimana tertuang di dalam dokumen Masterplan Percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) 2011-2025 ataupun membentuk kawasan ekonomi khusus (KEK). Setidaknya bisa dikatakan, dengan penguatan sistem transportasi laut, perwujudan MP3EI dan KEK akan lebih cepat.
Visi maritim akan menempatkan potensi kekuatan laut sebagai landasan penguatan struktur perekonomian Indonesia. Bukan saja sebagai sarana transportasi, melainkan juga sebagai sumber kekayaan alam yang selama ini kurang memperoleh perhatian seksama. Dokumen MP3EI hanya mencantumkan gas alam, batubara, panas bumi, minyak kelapa sawit, kakao, dan timah sebagai potensi kekayaan alam kita, padahal potensi kekayaan laut diperkirakan juga relatif sangat besar.
Untuk mengeksploitasikan potensi kekayaan laut yang semakin bernilai tambah tinggi diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dan teknologi informasi. Sudah sepantasnya Indonesia memiliki perguruan tinggi maritim yang menekankan pada kajian-kajian kelautan. Di perguruan tinggi ini diajarkan ilmu-ilmu teknik dan sosial yang fokus pada kelautan seperti teknologi industri pengolahan hasil laut, teknologi perkapalan, konstruksi dan desain pelabuhanhukum laut, ekonomi maritim, transportasi laut, dan sebagainya.
Penjabaran visi maritim membutuhkan konsistensi kebijakan. Alokasi dana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (kebijakan fiskal) untuk sektor kelautan dalam artian luas bisa jadi sebagai titik awal memulai era baru dengan pola pikir baru. Harus tercermin pula pada kebijakan industrial, kebijakan riset dan teknologi, dan kebijakan pengembangan wilayah. Selain itu, sudah barang tentu, tercermin pula dalam penentuan sistem transportasi nasional. Dibutuhkan komitmen pemimpin tertinggi untuk merangkai semua ini dalam derap langkah yang padu.
Alangkah ironisnya ketika kita hendak melangkah dengan visi maritim, justru MP3EI menjadikan Jembatan Selat Sunda sebagai primadona. Bukankah Jawa dan Sumatera merupakan dua pulau besar yang selama ini sudah terintegrasi. Kedua pulau ini menyumbang masing-masing sebesar 57,63 persen dan 23,77 persen terhadap produk domestik bruto nasional? Kehadiran proyek Jembatan Selat Sunda mencerminkan cengkerapan pola pikir darat memang masih sangat kuat. Penyebutan Indonesia sebagai negara maritim di MP3EI menjadi hambar karena penampakan halaman pertama dan kedua dokumen ini terisi penuh oleh foto rancangan Jembatan Selat Sunda. **
* Dimuat di Tinjauan Pembangunan Maritim Indonesia “Menggapai Negara Maritim,” Edisi ke-2 Tahun 2013, hal. 73-78.
1 comments on “Visi Maritim Sebagai Acuan Pembangunan Ekonomi Nasional”