Sesat Pikir Utang (Kasus Sederhana)

6 komentar

Saya sudah puluhan kali dimintai komentar oleh rekan-rekan media tentang meningkatnya utang pemerintah. Misalnya, ada berita bertajuk “Utang Pemerintah tempus Rp 2.000 triliun.” Barusan saya mengunjungi google search dengan mengetik judul di atas. Muncul lebih dari 40.000 berita.

Mari kita buat perbandingan sederhana.

Si A memiliki utang Rp 1 juta tahun lalu dan tahun ini naik jadi Rp 2 juta. Tahun lalu pendapatan si A Rp 1 juta dan tahun ini Rp 1,1 juta.

Si B tahun lalu memiliki utang Rp 99 juta. Tahun ini utangnya bertambah jadi Rp 101 juta. Pendapatan si B Rp 150 juta tahun lalu dan naik menjadi Rp 200 juta tahun ini.

Media cenderung memberitakan si B-lah yang bermasalah. Mungkin judul beritanya: utang si B tembus Rp 100 juta. Padahal sangat kentara bahwa si A-lah yang terjerat utang, Utang si A naik 100 persen, sedangkan pendapatannya hanya naik 10 persen. Utang si A lebih besar dari pendapatannya. Tahun lalu nisbah utang-pendapatan adalah 100 persen dan tahun ini naik drastis jadi 181 persen.

Sementara itu, utang si B hanya naik 2 persen dan pendapatannya naik 33,3 persen. Nisbah utang-pendapatan si B turun dari 66 persen tahun lalu menjadi 50 persen tahun ini.

Semoga salah kaprah ini tak berlanjut.

6 comments on “Sesat Pikir Utang (Kasus Sederhana)”

  1. Pak FB, Mohon pencerahan tentang pernyataan berikut yang datang dari Menteri Keuangan kita [yang kalau saya tidak salah juga seorang pengajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia]. Pemikiran meningkatkan belanja [konsumsi] untuk ‘menyelamatkan’ perekonomian kok membuat saya gelisah ya dengan pola produksi barang di Indonesia saat ini [sejauh saya tau dan mudah-mudahan salah, masih banyak assembling dan sangat tergantung komponen import]

    http://finance.detik.com/read/2013/08/19/150937/2334157/4/chatib-basri-dulu-hemat-pangkal-kaya-sekarang-belanja-pangkal-kaya

    Yang krisis apa [siapa]? yang harus menanggung [dan menyelamatkan] [si]apa? Mungkin Ibu dan Bapak bisa memberi pencerahan jikalau ada studi yang sudah dilakukan tidak hanya melihat korelasi ‘konsumsi’ terhadap variabel-variabel ekonomi yang umum dan bisa digunakan untuk mengatakan ‘ekonomi tumbuh dan baik’, tapi adakah studi yang mengelaborasi ‘konsumsi’ dan ‘disparitas’ di Indonesia, atau di perkotaan di Indonesia? Mohon pencerahan dan terimakasih banyak.

    Hirmen

    1. Yg ditawarkan menkeu merupakan jalan pintas. Itu pun tak disertai kebijakan yg sesuai dgn tujuan itua. Buktinya pajak akan digenjot. Bukankah menggenjot pajak akan menekan konsumsi? Tampaknya para pengambil keputusan mulai kehilangan orientasi. Solusi jitu adalah memajukan investasi dan mendorong ekspor, jadi menambah lapangan kerja.

    1. Dinyatakan dalan GDP, utang pemerintah sangatlah kecil. Jumlah utang nominal bisa naik, tapi kalau kemampuan bayar utang jauh lebih cepat naikknya, maka nisbah utang turun. Berarti utang itu bisa dimanfaatkan secara lebih efektif.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.