Saya sudah puluhan kali dimintai komentar oleh rekan-rekan media tentang meningkatnya utang pemerintah. Misalnya, ada berita bertajuk “Utang Pemerintah tempus Rp 2.000 triliun.” Barusan saya mengunjungi google search dengan mengetik judul di atas. Muncul lebih dari 40.000 berita.
Mari kita buat perbandingan sederhana.
Si A memiliki utang Rp 1 juta tahun lalu dan tahun ini naik jadi Rp 2 juta. Tahun lalu pendapatan si A Rp 1 juta dan tahun ini Rp 1,1 juta.
Si B tahun lalu memiliki utang Rp 99 juta. Tahun ini utangnya bertambah jadi Rp 101 juta. Pendapatan si B Rp 150 juta tahun lalu dan naik menjadi Rp 200 juta tahun ini.
Media cenderung memberitakan si B-lah yang bermasalah. Mungkin judul beritanya: utang si B tembus Rp 100 juta. Padahal sangat kentara bahwa si A-lah yang terjerat utang, Utang si A naik 100 persen, sedangkan pendapatannya hanya naik 10 persen. Utang si A lebih besar dari pendapatannya. Tahun lalu nisbah utang-pendapatan adalah 100 persen dan tahun ini naik drastis jadi 181 persen.
Sementara itu, utang si B hanya naik 2 persen dan pendapatannya naik 33,3 persen. Nisbah utang-pendapatan si B turun dari 66 persen tahun lalu menjadi 50 persen tahun ini.
Semoga salah kaprah ini tak berlanjut.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Diterbitkan oleh faisal basri
Faisal Basri is currently senior lecturer at the Faculty of Economics, University of Indonesia and Chief of Advisory Board of Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA). His area of expertise and discipline covers Economics, Political Economy, and Economic Development.
His prior engagement includes Economic Adviser to the President of Republic of Indonesia on economic affairs (2000); Head of the Department of Economics and Development Studies, Faculty of Economics at the University of Indonesia (1995-98); and Director of Institute for Economic and Social Research at the Faculty of Economics at the University of Indonesia (1993-1995), the Commissioner of the Supervisory Commission for Business Competition (2000-2006); Rector, Perbanas Business School (1999-2003).
He was the founder of the National Mandate Party where he was served in the Party as the first Secretary General and then the Deputy Chairman responsible for research and development. He quit the Party in January 2001. He has actively been involved in several NGOs, among others is The Indonesian Movement.
Faisal Basri was educated at the Faculty of Economics of the University of Indonesia where he received his BA in 1985 and graduated with an MA in economics from Vanderbilt University, USA, in 1988.
Lihat semua pos dari faisal basri
Ini yg perlu dipahami masyarakat dan media. Media jgn hanya ingin jualan berita saja..
Terkadang media mengutamakan sensasi. Sudah dijelaskan berulang kali, tetapi terus saja seperti itu. Harus banyak sabar.
Pak FB, Mohon pencerahan tentang pernyataan berikut yang datang dari Menteri Keuangan kita [yang kalau saya tidak salah juga seorang pengajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia]. Pemikiran meningkatkan belanja [konsumsi] untuk ‘menyelamatkan’ perekonomian kok membuat saya gelisah ya dengan pola produksi barang di Indonesia saat ini [sejauh saya tau dan mudah-mudahan salah, masih banyak assembling dan sangat tergantung komponen import]
http://finance.detik.com/read/2013/08/19/150937/2334157/4/chatib-basri-dulu-hemat-pangkal-kaya-sekarang-belanja-pangkal-kaya
Yang krisis apa [siapa]? yang harus menanggung [dan menyelamatkan] [si]apa? Mungkin Ibu dan Bapak bisa memberi pencerahan jikalau ada studi yang sudah dilakukan tidak hanya melihat korelasi ‘konsumsi’ terhadap variabel-variabel ekonomi yang umum dan bisa digunakan untuk mengatakan ‘ekonomi tumbuh dan baik’, tapi adakah studi yang mengelaborasi ‘konsumsi’ dan ‘disparitas’ di Indonesia, atau di perkotaan di Indonesia? Mohon pencerahan dan terimakasih banyak.
Hirmen
Yg ditawarkan menkeu merupakan jalan pintas. Itu pun tak disertai kebijakan yg sesuai dgn tujuan itua. Buktinya pajak akan digenjot. Bukankah menggenjot pajak akan menekan konsumsi? Tampaknya para pengambil keputusan mulai kehilangan orientasi. Solusi jitu adalah memajukan investasi dan mendorong ekspor, jadi menambah lapangan kerja.
Jadi sebenarnya utang Indonesia tdk sebesar itu pak?
Dinyatakan dalan GDP, utang pemerintah sangatlah kecil. Jumlah utang nominal bisa naik, tapi kalau kemampuan bayar utang jauh lebih cepat naikknya, maka nisbah utang turun. Berarti utang itu bisa dimanfaatkan secara lebih efektif.