Menuju Negara Kesatuan Maritim

4 komentar

Jika kita perhatikan atlas dunia tampak kondisi geografis Indonesia sangat unik. Tak satu negara pun menyerupai Indonesia. Dengan hamparan 17.000 pulau lebih dan luas lautan yang sekitar dua kali lipat luas daratan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang paling kaya keanekaragaman kekayaan alam, sosial, budaya, suku, adat istiadat, dan bahasa daerah.

atlas

Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan memiliki tiga zona waktu, namun menyatu di dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sungguh kita merupakan negara kesatuan maritim.

Penduduk Indonesia terbanyak keempat di dunia. Pemeluk agama Islam terbesar di dunia dan tergolong moderat.  Kita merupakan negara demokrasi ketiga terbesar  dunia.

Namun, secara ekonomi kita masih tersegmentasi. Ada cukup banyak pertanda bahwa integrasi perekonomian nasional kita masih sangat lemah.

Pertama, disparitas harga yang cukup tajam antardaerah dan antarpulau. Hal ini terlihat dari disparitas harga antardaerah dan antarpulau yang relatif besar. Hasil produksi suatu daerah atau pulau sulit dikirim ke daerah atau pulau lainnya. Keunggulan komparatif daerah tak bisa terwujud. Harga durian, misalnya, sangat murah di daerah produsen tapi sangat mahal di Jakara. Ongkos angkut yang mahal dan fasilitas kontainer khusus yang minim membuat durian Bangkok lebih merajai di pasar modern Jakarta. Penduduk di luar Jawa sangat jarang menjumpai salak Pondoh. Mereka lebih akrab dengan buah-buahan impor.

Semakin jauh dari pusat-pusat grafitasi kegiatan ekonomi, semakin mahal harga-harga barang dan jasa. Harga-harga komoditas di sentra-sentra produksi juga relatif jauh lebih murah ketimbang di daerah-daerah konsumen. Misalnya, harga jeruk Pontianak jauh lebih mahal di Jakarta ketimbang di daerah asalnya. Akibatnya warga Jakarta lebih gandrung membeli jeruk dari China ketimbang jeruk Pontianak, karena Jakarta dan China “lebih terintegrasi” ketimbang Jakarta dan Pontianak. Mengapa? karena ongkos angkut dari Pontianak ke Jakarta lebih mahal ketimbang ongkos angkut dari China ke Jakarta.

Hal ini terlihat dari disparitas harga antardaerah dan antarpulau yang relatif besar. Hasil produksi suatu daerah atau pulau sulit dikirim ke daerah atau pulau lainnya. Keunggulan komparatif daerah tak bisa terwujud. Harga durian, misalnya, sangat murah di daerah produsen tapi sangat mahal di Jakara. Ongkos angkut yang mahal dan fasilitas kontainer khusus yang minim membuat durian Bangkok lebih merajai di pasar modern Jakarta. Penduduk di luar Jawa sangat jarang menjumpai salak Pondoh. Mereka lebih akrab dengan buah-buahan impor. Daerah-daerah di perbatasan lebih mengenal produk-produk negara tetangga ketimbang hasil bangsanya sendiri.

Kedua, Jika hendak bepergian dari Bengkulu ke Padang, kita harus terbang dulu ke Jakarta. Demikian pula jika hendak mengunjungi Palangkaraya dari Pontianak, sekalipun kedua kota ini sama-sama berada di pulau Kalimantan.

Ketiga, negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia membeli bahan baku dari Indonesia, lalu mengolahnya di negara mereka, lantas barang jadi olahannya mereka pasarkan di Indonesia. Jikalau perekonomian kita terintegrasi dan pasarnya efisien, niscaya pengusaha Singapura maupun Malaysia akan mendirikan pabrik pengolahan di Indonesia.

Keempat, jika kita hendak berlibur ke berbagai kota di berbagai negara tetangga, hampir pasti ongkos pesawat terbang yang harus kita keluarkan bisa lebih murah ketimbang berlibur ke berbagai kota di berbagai pulau di tanah air.

Kelima, daerah-daerah penghasil migas dan batubara lebih kerap mengalami pemadaman listrik ketimbang kota-kota di Jawa yang sama sekali tak menghasilkan sumber daya mineral dan energi. Ongkos angkut batubara dari kalimantan ke Jawa dalam setahun bisa untuk membangun satu sampai dua pembangkit listrik di mulut tambang, lalu listriknya bisa dialirkan lewat jaringan transmisi bawah laut, sehingga daerah penghasil energi juga menikmati kecukupan pasokan listrik. Karena tak kunjung terintegrasi, beberapa daerah di Kalimantan Barat sudah menikmati listrik yang dipasok dari pembangkit listrik di Sarawak, Malaysia.

Keenam, pemerintah sudah dan akan terus membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk mengintegrasikan daerah-daerah tertentu dengan luar negeri (baca: untuk meningkatkan daya saing), seraya menimbulkan kantung-kantung kegiatan ekonomi yang eksklusif di dalam negeri atau “terisolasi” dengan daerah Indonesia lainnya.

Ketujuh, warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya lebih mudah mengakses informasi dari mancanegara yang sangat jauh sekalipun ketimbang dari daerah-daerah lain di Indonesia. Kebanyakan warga Indonesia di kota-kota yang lebih kecil sangat sulit mengakses informasi dari Jakarta dan mancanegara; kalaupun bisa, niscaya lebih lama dengan ongkos lebih mahal.

Kedelapan, disparitas pembangunan antardaerah tetap buruk. Sekalipun kita sudah berada di era otonomi daerah, ternyata kue hasil pembangunan makin banyak dinikmati oleh Jawa dan Sumatera.

pdb_pulau

Kesembilan, pengusaha peternakan sapi di Lampung bisa membeli jagung lebih murah dari California ketimbang dari Gorontalo.

Kesepuluh, cukup banyak perusahaan multinasional yang memindahkan fasilitas pabriknya di Indonesia ke negara-negara tetangga, walaupun bahan bakunya tersedia melimpah di sini. Selanjutnya, produk-produk yang diolah di negara-negara tetangga tersebut dipasarkan di Indonesia. Bahkan produk buah-buahan tropis olahan yang diproduksi perusahaan multinasional dengan merek dagang Del Monte, yang beredar di Indonesia, tak berasal dari pabrik yang berlokasi di Indonesia, melainkan dari pabrik di Afrika Selatan. Padahal, kurang apa kita dalam menghasilkan buah-buahan tropis.

Itu semua terjadi karena selama ini kita gagal mensinergikan potensi-potensi yang ada yang bertaburan di sepanjang gugusan pulau-palau dan hamparan lautan biru.

Kalau begini terus, pantas saja kita tercecer dari persaingan antarbangsa.

Mari kembali ke jatidiri sebagai negara kesatuan maritim.

4 comments on “Menuju Negara Kesatuan Maritim”

  1. Tulisan ini lebih kurang pernah tersaji saat saya ikuti seminar Pak Faisal Basri di gedung Mandiri kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

    Salam hangat dari Banda Aceh pak

    1. Stabilitas politik dan ekonomi juga.

      Saya harap tulisan ini sudah jauh lebih mutakhir. Terima kasih banyak telah berkunjung di blog ini.

      Salam hangat dari jakarta.

  2. Pak Basri, mohon ulas juga penyebab disparitas harga yg tinggi tsb. Sehingga bisa dicarikan solusinya. Terima kasih

    1. Sudah beberapa kali diulas. Penyebab utamanya adalah transportasi laut yang buruk. Ongkos angkut Jakarta-Sorong $2.000, sedangkan Jakarta Hamburg saja cuma $500-an. Laut memisahkan pulau2 kita, padahal lautlah yang seharusnya menyatukannya. Dunia tersambung oleh transportasi laut. Ada juga faktor matarantai perdagangan yang panjang dan tidak efisien.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.