Sudah lama ada keputusan politik untuk menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM) mulai tahun 2003, kecuali untuk minyak tanah bagi keperluan rumah tangga. Keputusan politik itu, yang tertuang di dalam Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), mensyaratkan penghapusan subsidi dilakukan secara bertahap. Karena pemerintahan terdahulu “enggan” membuat keputusan yang tak populer di mata rakyat, pelaksanaannya baru dilakukan setelah mengalami penundaan berkali-kali. Penetapan harga yang mulai disesuaikan dengan mekanisme pasar baru diterapkan tahun lalu. Cara baru ini ternyata cukup ampuh untuk menghilangkan penyelundupan BBM ke luar negeri. Kita juga makin jarang mendengar kasus penimbunan maupun penyalahgunaan fasilitas subsidi BBM.
Kenaikan tarif telepon rencana awalnya sudah diberlakukan sejak tahun 2000, tetapi baru terealisasikan tahun lalu. Tarif dasar listrik (TDL) telah berkali-kali dinaikkan. Tarif angkutan pun demikian.
Dilihat dari magnitude-nya, kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, telepon, dan angkutan umum yang diputuskan pemerintah mulai berlaku awal Januari 2003 tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Lantas, apa makna dari dan perbedaannya dengan kenaikan harga komoditas-komoditas yang dikendalikan pemerintah yang terjadi sebelumnya?
Perbedaan yang paling mencolok ialah keberanian pemerintah untuk menaikkan harga komoditas-komoditas tersebut secara serempak. Paling tidak ada lima faktor yang mungkin melatarbelakanginya. Pertama, berdasarkan pengalaman tahun lalu, kenaikan harga-harga komoditas yang dikendalikan pemerintah tidak berdampak besar terhadap inflasi. Sepanjang tahun 2002, inflasi cukup terkendali, yakni hanya sedikit di atas 10 persen, atau persisnya 10,03 persen. Terkendalinya inflasi menandakan pasar tak mengalami kekurangan pasokan walaupun bisa saja lebih disebabkan oleh permintaan yang relatif turun karena kemerosotan daya beli.
Kedua, pemerintah tampaknya secara konsisten melanjutkan program penyesuaian struktural. Tidak menaikkan harga-harga berarti hanya akan menunda masalah dan menimbulkan beban yang lebih besar lagi di masa depan. Jika fase sulit ini bisa dilampaui segera, maka ruang gerak perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi bisa dipercepat.
Ketiga, keyakinan pemerintah bahwa beban dari kenaikan harga-harga tidak dipikul oleh masyarakat kecil. Alasannya, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah. Jumlah rumah tangga yang memiliki telepon tak sampai 5 persen dan mereka bukanlah kelompok tak mampu. Untuk pelanggan listrik, golongan yang paling tak mampu (R-1) masih tetap disubsidi. Kalaupun ada masyarakat kecil yang secara langsung maupun tak langsung harus menanggung beban yang lebih berat, pemerintah telah menyiapkan dana kompensasi lebih dari Rp 3 trilyun untuk mengurangi beban mereka.
Keempat, pemerintah tidak mengesampingkan aspek keadilan. Justru kalau tarif listrik tak dinaikkan, secara tak langsung 50 persen penduduk Indonesia yang belum menikmati aliran listrik juga harus menanggung beban subsidi dan menunggu lebih lama lagi untuk memperoleh akses sambungan listrik. Alasan serupa juga berlaku untuk tarif telepon.
Kelima, dampak terhadap biaya produksi pada berbagai jenis usaha umumnya tidak signifikan. Jadi, tak cukup kuat alasan kalau pengusaha menggelembungkan harga jualnya semata-mata karena kenaikan harga keempat komoditas dimaksud. Dengan kata lain, pemerintah cukup yakin bahwa kenaikan harga BBM, tarif listrik, telepon, dan angkutan tidak menimbulkan inflasi spiral (spiral inflation) yang pada gilirannya mengakibatkan supply shock atau pukulan berat pada pasokan barang dan jasa di pasar.
***
ALASAN-alasan di atas secara teknis ekonomi cukup bisa dimaklumi. Persoalannya ialah kesulitan yang kita hadapi dewasa ini tak bisa sepenuhnya diatasi dengan perangkat-perangkat kebijakan ekonomi semata. Selain itu, keefektifan kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah sangat ditentukan oleh sejumlah prasyarat atau prakondisi yang bersifat ekonomi maupun nonekonomi.
Untuk sampai pada keyakinan bahwa dampak kenaikan harga yang simultan awal tahun ini tak berdampak besar terhadap inflasi dan daya beli masyarakat, agaknya perlu terlebih dahulu mengetahui secara saksama kondisi daya tahan masyarakat. Untuk itu, rekan-rekan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyarankan agar pemerintah terlebih dahulu melakukan general check up atas daya tahan ekonomi masyarakat.
Katakanlah keyakinan pemerintah memang betul-betul terbukti, apakah masyarakat masih menyisakan daya tahan? Harus diingat bahwa sejak krisis tahun 1997 daya beli masyarakat sudah banyak terkikis. Kalau kita analogikan puncak krisis tahun 1998 dengan gelombang banjir, maka genangan air telah menenggelamkan separuh badan kita. Karena krisis terus berlangsung, genangan air terus merayap naik hingga mencapai dagu. Seandainya kenaikan harga-harga sejak tahun 1997 hingga tahun 2002 telah membuat daya beli masyarakat pada tingkat yang mengkhawatirkan seperti air bah yang telah menyentuh dagu, maka dampak kenaikan harga yang terakhir ini-yang walaupun hanya akan membuat inflasi sekitar 10 persen- niscaya bisa membenamkan daya beli puluhan juta penduduk.
Berkaitan dengan pertimbangan keadilan, kenaikan harga-harga yang bertujuan untuk mengurangi subsidi agar tak membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sangat melukai rasa keadilan masyarakat bila dikontraskan dengan langkah pemerintah untuk memberikan pengampunan kepada para konglomerat pengemplang utang. Kita bisa saja setuju dengan prinsip bahwa kedua masalah ini harus dipisahkan. Secara teknis ekonomi memang demikianlah penyelesaian yang optimal, yakni satu instrumen kebijakan hanya efektif untuk mencapai satu tujuan: kebijakan kenaikan harga untuk menyehatkan sektor riil, sementara itu untuk menyelesaikan utang konglomerat dicarikan instrumen lain yang paling optimal.
Prinsip ini membutuhkan prasyarat pemerintahan yang bersih dan amanah. Bagaimana mungkin rakyat mau dipaksa terus berkorban kalau pengumuman kenaikan harga hampir bersamaan dengan pesta eksklusif para petinggi negeri. Jangan harap rakyat memaklumi pengampunan bagi konglomerat kalau aset-aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dijual secara serampangan oleh para pemimpinnya yang “berlumuran lumpur”. Rakyat tak akan habis pikir kalau harga-harga komoditas yang diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu dinaikkan, sementara para oknum penguasa (pemerintah dan DPR) tak henti-henti memerah BUMN-BUMN tersebut.
***
MENGACU pada pengalaman selama ini, sebetulnya rakyat sangat memahami kesulitan yang sedang kita alami. Penentangan banyak kalangan sebetulnya bukan pada kenaikan harga suatu komoditas tertentu, melainkan terhadap tindakan pemerintah yang menaikkan harga sejumlah komoditas secara serempak. Momok yang ditimbulkan atas kenaikan harga-harga secara serempak niscaya akan jauh terkurangi seandainya pemerintah melakukannya secara bertahap.
Dilihat dari urgensinya, kenaikan harga BBM bisa diprioritaskan dengan catatan dana kompensasi bisa dinaikkan dan diefektifkan. Untuk listrik, kenaikan tarif sebetulnya masih bisa dikurangi seandainya seluruh instansi terkait dipacu untuk menyelesaikan beberapa persoalan. Misalnya, bagaimana menghilangkan kendala pasokan gas dan batubara bagi sejumlah pembangkit listrik yang selama ini terpaksa menggunakan solar. Jika ini dilakukan, potensi penghematan bisa mencapai Rp 4 trilyun, sehingga PLN tak harus menderita kerugian.
Yang paling feasible untuk ditunda adalah kenaikan tarif telepon. Petani cabai (seperti iklan PT Telkom) tak akan terkapar oleh telepon. Lebih-lebih lagi, PT Telkom sudah menikmati keuntungan yang lumayan melimpah (Rp 7 trilyun hanya untuk periode Januari-September 2002). Pemerintah harus lebih memacu PT Telkom untuk meningkatkan efisiensinya dengan menetapkan target-target yang lebih ketat.
Pendek kata, masih cukup tersedia ruang gerak untuk menurunkan beban masyarakat. Kita sungguh berharap agar para pemimpin bangsa bisa menunjukkan suri tauladan kepada rakyatnya. Semangat pengorbanan dan sikap hidup hemat di kalangan petinggi negeri sungguh akan menjadi air yang mendinginkan kemarahan rakyat, yang sudah mulai telanjur membara.
* Tulisan Analisis Ekonomi pertama di harian Kompas, 6 Januari 2003, hal. 1.